Opini

Opini: Memaknai Hari Raya Galungan di Era Kini

Galungan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ajakan untuk senantiasa menyucikan diri dan menegakkan kebenaran.

|
Editor: Sipri Seko
POS-KUPANG.COM/HO
dr. Shinta Widari dan Dr. Dewa Putu Sahadewa 

Oleh: Dr Shinta Widari dan Dr Sahadewa

POS-KUPANG.COM - Hari Raya Galungan adalah salah satu hari suci terpenting bagi umat Hindu, di Nusantara. Perayaan ini merupakan momen spiritual yang memperingati kemenangan Dharma (kebenaran, kebaikan) atas Adharma (kejahatan, ketidakbenaran).

Dirayakan setiap 210 hari sekali, tepatnya pada hari Budha, Kliwon, Dunggulan dalam sistem kalender Bali (Pawukon), Galungan bukan sekadar ritual tahunan, melainkan ajakan untuk senantiasa menyucikan diri dan menegakkan kebenaran.

Sejarah Singkat dalam Purana

Menurut sumber-sumber seperti Lontar Purana Bali Dwipa, sejarah dimulainya perayaan Galungan sering dikaitkan dengan kisah Raja raksasa yang lalim, Mayadenawa.
Mayadenawa adalah raja sakti yang sombong dan angkuh. Ia melarang rakyatnya menyembah para Dewa dan menghancurkan tempat-tempat suci, bahkan mengaku dirinya sebagai dewa yang harus disembah.

Kezalimannya membawa penderitaan dan ketakutan bagi rakyat. Untuk menghentikan kejahatannya, para Dewa, dipimpin oleh Dewa Indra, turun tangan.

Dalam pertempuran sengit, Mayadenawa terus melarikan diri dan mengubah wujudnya, namun Dewa Indra berhasil mengejarnya. Pada akhirnya, Dewa Indra berhasil membunuh raja lalim tersebut.

Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa inilah yang diyakini sebagai simbol kemenangan Dharma atas Adharma, yang kemudian diperingati sebagai Hari Raya Galungan, pertama kali dirayakan pada tahun 882 Masehi (tahun Saka 804).

Kemenangan Dharma di Era Serba Canggih

Di era modern yang serba cepat dan canggih ini, tantangan untuk menegakkan Dharma menjadi semakin kompleks. Jika dulu Adharma diwujudkan dalam bentuk fisik seperti Raja Mayadenawa, kini "kejahatan" seringkali bersembunyi dalam bentuk yang lebih canggih, seperti:
Kejahatan Digital (Adharma Maya) seperti  berita bohong (hoax), penipuan daring, ujaran kebencian, perundungan siber (cyberbullying), dan penyebaran konten negatif yang merusak moral dan keharmonisan masyarakat.

Materialisme dan Egoisme,  sebagai contoh godaan untuk mengejar kekayaan dan kekuasaan semata (Kala Amangkurat dan Kala Dungulan) sehingga mengabaikan nilai-nilai moral, lingkungan, dan kemanusiaan.
 Kecanduan Duniawi tercermin dari keterikatan berlebihan pada gawai dan hiburan yang menjauhkan diri dari spiritualitas dan kesadaran diri.

Memaknai Galungan saat ini berarti memperbarui pertempuran Dharma melawan Adharma dari ranah fisik ke ranah digital dan mental. Kemenangan Dharma harus diwujudkan dalam integritas digital dan kendali diri yang kuat. Kita harus mampu menggunakan kecanggihan teknologi untuk menyebarkan kebaikan (Dharma) dan melawan kebatilan (Adharma) yang terselubung.

Dr. Dewa Putu Sahadewa
Dr. Dewa Putu Sahadewa (POS-KUPANG.COM/HO)

Perjuangan Melawan Adharma di Dalam Diri

Pergulatan terberat dari Galungan sesungguhnya bukan melawan kejahatan di luar, melainkan melawan Adharma di dalam diri sendiri (disebut juga Bhuwana Alit). Perjuangan ini digambarkan dalam konsep Kala Tiga Wisesa—tiga kekuatan jahat yang menguasai nafsu manusia:
Kala Amangkurat: Nafsu untuk berkuasa.
Kala Dungulan: Nafsu untuk memiliki.
Kala Galungan: Nafsu untuk menang dengan segala cara.

Upaya menaklukkan tiga nafsu inilah yang menjadi makna filosofis dari seluruh rangkaian perayaan Galungan, mulai dari Penyekeban (mengekang diri/nafsu), Penyajaan (memantapkan niat), hingga Penampahan (membunuh sifat kebinatangan).

Kemenangan sejati adalah ketika manusia berhasil menyeimbangkan antara pikiran (manah), perkataan (wacika), dan perbuatan (kayika) agar selaras dengan Dharma. Kemenangan ini sering disebut sebagai Jana Kerthi atau penciptaan manusia yang suci.

Untuk memperkuat semangat penegakan Dharma, kita dapat merenungkan beberapa sloka suci yang relevan:
1. Sarasamuscaya, Sloka 14

Sloka ini menegaskan pentingnya Dharma sebagai penuntun kehidupan:  "Dharma ewa plawo nanyah swargam samabhiwanchatam. Sa ca naurpwanijastatam jala dhen paramicchatah."

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved