Opini

Opini: Memori yang Retak, Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto

Kita perlu membaca Soeharto bukan hanya melalui daftar perbuatan, tetapi melalui cara ia memaknai situasi yang ia hadapi.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Soeharto saat diabadikan pada 15 Januari 1998. Pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Novemver 2025. 

Oleh: Adrianus Yohanes Mai
Magister Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Pada 10 November 2025, pemerintah resmi menetapkan Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional. Upacara berlangsung khidmat.

Bendera dikibarkan, pidato disampaikan, dan media menyiarkan dengan penuh hormat.

Namun di balik seremoni itu, muncul pertanyaan yang jauh lebih serius: apa yang sebenarnya sedang kita rayakan? Dan memori siapa yang sedang ingin kita abadikan?

Membicarakan Soeharto berarti memasuki wilayah sejarah yang penuh lapisan: pembangunan dan represi, stabilitas dan luka, kebanggaan dan trauma. 

Baca juga: Opini: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Mengabaikan Pahlawan Masa Kini yang Masih Berjuang

Karena itu, pertanyaan mengenai kelayakan gelar pahlawan tidak sesederhana “setuju” atau “tidak setuju”. 

Ia menuntut refleksi mendalam mengenai bagaimana kita memahami sejarah, kekuasaan, dan ingatan kolektif sebagai bangsa. 

Ketika sebuah negara memilih tokoh untuk diangkat menjadi pahlawan, ia tidak hanya sedang menilai masa lalu, tetapi juga sedang memutuskan nilai apa yang ingin diperkuat untuk masa depan.

Membaca Soeharto Melalui Pikiran Zamannya

Untuk itu, kita perlu membaca Soeharto bukan hanya melalui daftar perbuatan, tetapi melalui cara ia memaknai situasi yang ia hadapi. 

Filsuf sejarah R. G. Collingwood mengingatkan bahwa memahami tokoh sejarah bukan sekadar mencatat tindakan mereka, tetapi mencoba menghidupkan kembali cara pikir mereka dalam konteks zamannya.

Sejarah, kata Collingwood, adalah upaya untuk “re-enact” pikiran tokoh tersebut — mengerti mengapa suatu kebijakan dianggap perlu pada saat itu.

Indonesia pasca 1965 adalah ruang yang penuh ketidakpastian. Negara berada di ambang perpecahan politik, ekonomi kacau, dan ketakutan kolektif merebak di masyarakat.

Dalam konteks ini, Soeharto melihat stabilitas sebagai prioritas utama negara. 

Baginya, pembangunan ekonomi, penertiban politik, dan konsolidasi kekuasaan adalah cara menyelamatkan negara dari kekacauan. 

Dengan pendekatan Collingwood, kita tidak tergesa menghakimi. Kita terlebih dahulu memahami rasionalitas situasional yang melahirkan suatu tindakan.

Etika Tanggung Jawab: Antara Manfaat dan Luka

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved