Opini

Opini: Memori yang Retak, Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto

Kita perlu membaca Soeharto bukan hanya melalui daftar perbuatan, tetapi melalui cara ia memaknai situasi yang ia hadapi.

Editor: Dion DB Putra
KOMPAS/JB SURATNO
Presiden Soeharto saat diabadikan pada 15 Januari 1998. Pemerintah menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Novemver 2025. 

Namun memahami tidak berarti membenarkan. Di sini, Max Weber memberi kacamata evaluatif yang penting. 

Weber membedakan etika keyakinan—tindakan berdasarkan prinsip ideal—dan etika tanggung jawab—tindakan yang mempertimbangkan akibat yang muncul.

Di satu sisi, pemerintahan Soeharto membawa pertumbuhan ekonomi, swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan rasa keteraturan yang dirasakan luas. 

Banyak keluarga di Indonesia memiliki kenangan tentang harga kebutuhan yang stabil, pembangunan jalan, sekolah, dan peningkatan taraf hidup.

Namun di sisi lain, konsekuensi proyek stabilitas itu tidak dapat dihapus begitu saja dari ingatan sejarah: hilangnya kebebasan sipil, pembungkaman oposisi, penghilangan paksa, pembantaian politik, serta lahirnya jaringan birokrasi yang memupuk korupsi struktural yang dampaknya masih kita rasakan hingga kini. 

Weber mengingatkan bahwa sejarah yang adil harus melihat manfaat dan luka dalam satu bingkai yang sama.

Ketika Kekuasaan Berubah Bentuk

Filsuf politik Hannah Arendt menjelaskan bagaimana kekuasaan dapat bergeser bentuk. 

Pada awalnya, kekuasaan Soeharto bertumpu pada legitimasi pembangunan. Namun seiring waktu, ketika dukungan rakyat menurun, kekuasaan itu bergeser menjadi kontrol dan dominasi. Dari power menjadi violence.

Arendt mengatakan bahwa kekuasaan yang bergantung pada ketakutan sebenarnya adalah kekuasaan yang sudah kehilangan legitimasi moralnya. 

Dengan melihat perjalanan kekuasaan Soeharto, kita belajar bahwa pembangunan yang tidak diiringi ruang kritis akan melahirkan kekuasaan yang rapuh dan rentan menyakiti.

Pertarungan Memori

Paul Ricoeur mengingatkan bahwa sejarah tidak hanya hidup dalam arsip, tetapi dalam ingatan kolektif. Dan ingatan selalu terbelah. 

Tidak ada satu memori yang dapat memonopoli kebenaran. Karena itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar persoalan administratif. 

Ia menyentuh pertarungan ingatan: Ingatan siapa yang diberi ruang? Luka siapa yang disenyapkan? 

Nilai apa yang kita tetapkan sebagai warisan bersama? Maka pertanyaan publik hari ini tidak cukup dijawab dengan argumen legal atau seremoni simbolik. 

Pertanyaan yang sesungguhnya adalah: Ingatan seperti apa yang ingin
kita wariskan sebagai identitas bangsa? Sebab memilih pahlawan berarti memilih nilai.

Memilih nilai berarti menentukan arah bangsa. Memori bangsa tidak boleh dibangun dengan tergesa-gesa.

Tidak boleh pula dibangun dengan melupakan mereka yang terluka. Sebab bangsa yang melupakan luka, akan mengulangnya kembali. (*)

Simak terus artikel POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved