Opini
Opini: Pahlawan dan Politik Ingatan
Peringatan itu dirayakan di tengah kontroversi (wacana) penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Kota Blitar hidup dari makam Sukarno, Surabaya meneguhkan identitasnya lewat peringatan 10 November, dan Yogyakarta menjual romantika perjuangan 1945 sebagai daya tarik wisata.
Sejarah berubah menjadi pengalaman emosional dan kebanggaan nasional, membentuk apa yang bisa disebut “industri memori”.
Negara dan korporasi memanfaatkan citra pahlawan untuk membangun loyalitas publik dan menanamkan ideologi.
Namun, di balik gemerlap industri ini, ada ketimpangan yang mencolok. Banyak pejuang rakyat kecil, perempuan, dan komunitas adat tidak pernah diangkat karena tak memiliki akses ke pusat kekuasaan.
Daftar pahlawan nasional masih bias terhadap gender, etnis, dan kelas sosial.
Kepahlawanan, pada akhirnya, sering kali bukan hasil pengakuan dari bawah, melainkan hak istimewa yang disahkan dari atas.
Gelar itu menjadi simbol legitimasi bagi mereka yang pernah, atau masih, memegang kuasa.
Hari Pahlawan, karena itu, seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau nostalgia. Ia semestinya menjadi momentum reflektif untuk meninjau ulang siapa yang kita anggap berharga hari ini.
Kepahlawanan sejati tidak mesti diabadikan dalam batu, disematkan dalam gelar, atau diresmikan oleh negara.
Ia bisa hidup dalam tindakan sederhana yang menopang kehidupan bersama—pada guru yang tetap mengajar di pelosok atau warga yang bertahan melawan perampasan tanah dan lingkungan.
Di tangan merekalah nilai pengorbanan dan keberanian menemukan makna sejatinya.
Dengan kesadaran itu, kita diajak membaca ulang sejarah dengan lebih kritis.
Kepahlawanan bukanlah warisan yang beku, melainkan arena di mana makna terus diperebutkan antara kekuasaan dan masyarakat.
Mengakui bahwa kepahlawanan adalah produk ekonomi-politik memori berarti menolak menjadikannya alat legitimasi, sekaligus mengembalikan sejarah kepada mereka yang selama ini dilupakan.
Sebab pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting bukanlah “siapa pahlawan kita?”, melainkan siapa yang kita izinkan untuk diingat—dan siapa yang sengaja kita hapus dari ingatan.
Di sanalah inti dari politik memori bekerja, dan di sana jugalah makna Hari Pahlawan seharusnya diuji. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
| Opini: Hari Pahlawan dan Krisis Kesadaran Sejarah |
|
|---|
| Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur |
|
|---|
| Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies |
|
|---|
| Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh |
|
|---|
| Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Ferdinandus-Jehalut1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.