Opini
Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur
Pemerintah menjanjikan tambang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menawarkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Oleh : Try Suriani Loit Tualaka
Peneliti Junior di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC)
POS-KUPANG.COM - “Kemajuan sering diukur dari seberapa dalam tanah digali, bukan dari seberapa banyak kehidupan yang tumbuh di atasnya.”
Ungkapan ini terasa nyata di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana tambang kerap dijadikan simbol kemajuan dan kesejahteraan.
Namun di balik jargon pembangunan, tanah-tanah adat retak, air mengering, dan perempuan penjaga sumber-sumber kehidupan terdesak oleh logika ekonomi yang mengubah alam menjadi komoditas.
Selama dua dekade terakhir, industri ekstraktif telah menggurita di wilayah ini: dari mineral, batu gamping, emas, hingga mangan, semua digali atas nama pembangunan.
Baca juga: Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies
Pemerintah menjanjikan tambang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menawarkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Namun realitasnya menunjukkan hal yang berlawanan. Data dari Media Indonesia (2019) mencatat bahwa dari 353 perusahaan tambang logam dan nonlogam yang terdaftar di NTT, hanya 23 yang memenuhi syarat administrasi, teknis, dan keuangan untuk beroperasi.
Laporan lain menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTT tak sampai dua persen, tepatnya sekitar 1,34 persen (Floresa.co, 2014).
Bahkan pemerintah daerah sendiri mengakui tidak memiliki data pasti mengenai potensi cadangan mangan yang selama ini dijadikan komoditas unggulan (KatongNTT.com, 2023).
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa tambang bukanlah jalan menuju kesejahteraan, melainkan jalan menuju krisis ekologis dan sosial.
Yang tersisa di banyak wilayah hanyalah lubang-lubang besar, konflik sosial, dan hilangnya ruang hidup masyarakat.
Di tengah luka itu, perempuan menenun harapan bukan dari benang dan kapas semata, tetapi dari perlawanan terhadap logika pembangunan yang meminggirkan mereka, serta dari keyakinan bahwa tanah bukan sekadar sumber daya, melainkan sumber kehidupan.
Ekstraktivisme yang Sama, Lanskap yang Berbeda
Meski kontribusinya kecil terhadap ekonomi daerah, jejak sosial dan ekologis industri tambang di NTT sangat besar.
Di berbagai wilayah seperti Lengko Lolok, Luwuk, Poco Leok, hingga Nausus, masyarakat adat kini menghadapi ancaman kehilangan tanah ulayat, sumber air, dan ruang hidup yang selama ini menopang keberlanjutan komunitas.
Di Manggarai Timur, izin tambang batu gamping diberikan di wilayah tangkapan air yang vital bagi pertanian dan kebutuhan rumah tangga warga.
| Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies |
|
|---|
| Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh |
|
|---|
| Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah |
|
|---|
| Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial |
|
|---|
| Opini: Urgensi Satuan Pendidikan Aman Bencana di Nusa Tenggara Timur |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Try-Suriani-Loit-Tualaka3.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.