Opini

Opini: Pahlawan dan Politik Ingatan

Peringatan itu dirayakan di tengah kontroversi (wacana) penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FERDINANDUS JEHALUT
Ferdinandus Jehalut 

Oleh: Ferdinandus Jehalut
Dosen FISIP Undana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Perayaan peringatan hari pahlawan tahun ini cukup unik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 

Peringatan itu dirayakan di tengah kontroversi (wacana) penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

Kontroversi itu memunculkan pertanyaan: siapa yang menentukan orang layak disebut pahlawan? Apa pentingnya status kepahlawanan?

Baca juga: Opini: Hari Pahlawan dan Krisis Kesadaran Sejarah

Pahlawan sering dipahami secara sentimental, yakni orang yang berkorban tanpa pamrih demi bangsa. 

Namun, sejak zaman antik hingga zaman modern, status itu sering ditetapkan dari hasil konfigurasi politik dan ideologis. 

Artinya, penetapan seseorang menjadi pahlawan lebih merupakan sebuah peristiwa politik daripada peristiwa sosial dan historis.

Dari Yunani hingga Zaman Modern

Secara etimologis, kata pahlawan berakar dari istilah Yunani hērōs, yang berarti manusia luar biasa, setengah dewa (demigod). 

Dalam mitologi Yunani, istilah itu disematkan kepada tokoh seperti Herakles (Herkules), Achilles, dan Perseus. 

Tokoh-tokoh ini dihormati bukan karena kebaikan moral, melainkan karena keberanian dan pengaruh mereka terhadap nasib manusia. 

Mereka disebut manusia setengah dewa karena mereka lahir dari persatuan antara dewa dan manusia, mewarisi kekuatan ilahi tetapi tetap fana seperti manusia. 

Pahlawan dalam konteks ini bukanlah orang suci, tetapi sosok yang melampaui batas kemanusiaan dan menantang takdir.

Konsep ini berubah pada masa Romawi dan Kristen awal, ketika kepahlawanan dikaitkan dengan keutamaan moral dan pengorbanan iman. Para martir dianggap pahlawan karena rela mati demi Tuhan. 

Di sinilah kepahlawanan mulai beralih dari keagungan tindakan menuju kesucian moral.

Di era modern—terutama setelah Revolusi Prancis (1789)—pahlawan berubah menjadi figur politik. Prancis menjadikan Napoleon Bonaparte sebagai simbol keagungan bangsa. 

Ia diangkat dari jenderal biasa menjadi lambang kejayaan nasional, bahkan setelah menjerumuskan Eropa dalam perang berkepanjangan. 

Dalam diri Napoleon, pahlawan bukan lagi martir religius, melainkan manifestasi negara dan kekuasaan. 

Ia adalah pahlawan yang diproduksi oleh propaganda, bukan oleh pengorbanan moral.

Napoleon adalah contoh klasik bagaimana pahlawan bisa lahir dari kekuasaan, bukan dari kebajikan. 

Napoleon menindas kebebasan pers, menghapus pemerintahan perwakilan, dan bahkan mengembalikan perbudakan di koloni Prancis. 

Namun, setelah kematiannya, monarki Prancis justru mengabadikannya sebagai simbol kejayaan nasional. 

Ini persis menggambarkan parnyataan Pierre Nora (1984), “setiap rezim berusaha “mengarsipkan masa lalu” sesuai kebutuhan kekuasaan”. 

Napoleon dijadikan aset simbolik untuk menanamkan rasa kebanggaan, bukan untuk meneladani moralitas.

Logika serupa masih bertahan hingga kini. Penetapan pahlawan kerap menjadi arena politik ingatan. Negara mengatur siapa yang perlu diingat dan siapa yang tidak.  

Dalam konteks inilah kepahlawanan merupakan hasil negosiasi antara kekuasaan, ekonomi, dan politik.

Di Indonesia, perdebatan soal usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah contohnya. 

Bagi Sebagian orang Soeharto layak disebut sebagai pahlawan karena ia telah berjasa mewujudkan swasembada pangan dan membangun infrastruktur pada masanya. 

Namun, jangan lupa seorang diktator yang telah berkuasa selama 32 tahun ini telah meninggalkan jejak pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pembungkaman kebebasan politik dan pers. 

Dalam konteks yang terakhir ini, Soeharto jauh dari layak disebut sebagai pahlawan nasional. 

Meskipun demikian, penetapan seseorang sebagai pahlawan memang sering jauh dari pertimbangan kejernian moralitas bangsa dan sejarah. 

Penetapan itu adalah tindakan politik untuk perebutan sumber daya simbolik—upaya untuk menghidupkan kembali ingatan yang menguntungkan kelompok tertentu.

Politik Ingatan

Kontroversi (wacana) penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali menyingkap satu hal penting: ingatan adalah arena perebutan kuasa. 

Pierre Nora (1984) menyebut monumen, museum, dan peringatan nasional sebagai lieux de mémoire—“tempat-tempat ingatan” tempat negara menanamkan identitas kolektif sambil menyaring siapa yang layak diingat dan siapa yang dilupakan. 

Melalui mekanisme inilah sejarah dijadikan alat politik: ia tidak sekadar mencatat masa lalu, tetapi membentuk kesetiaan hari ini.

Indonesia tidak pernah luput dari praktik itu. Pada masa Orde Lama, negara menonjolkan pahlawan revolusi seperti Diponegoro, Kartini, Ki Hadjar Dewantara, dan Sukarno. 

Mereka mewakiliki semangat antikolonial dan kebangsaan. Pada masa Orde Baru, kepahlawanan bergeser menjadi militeristik: negara memuliakan para jenderal korban G30S/PKI dan menyingkirkan narasi tandingan. 

Setelah reformasi, wacana memang lebih plural: hadir pahlawan perempuan, tokoh daerah, dan aktivis sipil. 

Namun, beberapa bulan terakhir kita seoalah kembali diajak untuk meromantisasi Orde Baru lewat wacana penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

Langkah ini menggambarkan bahwa politik ingatan itu belum bergeser dari logika kekuasaan.

Dari kaca mata ekonomi politik, kita menyimak bahwa di balik proses administratif pemberian gelar “pahlawan nasional”, tersimpan kepentingan simbolik dan ekonomi yang besar. 

Penetapan pahlawan bukan hanya bentuk penghormatan moral, tetapi juga strategi politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. 

Gelar itu membawa dampak nyata: nama mereka diabadikan di jalan, dijadikan monumen, dimasukkan ke kurikulum, bahkan menjadi sumber dana wisata sejarah.

Pierre Bourdieu (1991) mengingatkan bahwa memori publik menyimpan kapital simbolik yang dalam masyarakat modern dapat berubah menjadi kapital ekonomi. 

Artinya, siapa yang dikenang dan bagaimana ia dikenang berpengaruh langsung pada arus kekuasaan dan modal di sekitar narasi resmi negara.

Kini, kepahlawanan tak lagi hanya soal nilai, tetapi juga bagian dari industri. 

Kota Blitar hidup dari makam Sukarno, Surabaya meneguhkan identitasnya lewat peringatan 10 November, dan Yogyakarta menjual romantika perjuangan 1945 sebagai daya tarik wisata. 

Sejarah berubah menjadi pengalaman emosional dan kebanggaan nasional, membentuk apa yang bisa disebut “industri memori”. 

Negara dan korporasi memanfaatkan citra pahlawan untuk membangun loyalitas publik dan menanamkan ideologi.

Namun, di balik gemerlap industri ini, ada ketimpangan yang mencolok. Banyak pejuang rakyat kecil, perempuan, dan komunitas adat tidak pernah diangkat karena tak memiliki akses ke pusat kekuasaan. 

Daftar pahlawan nasional masih bias terhadap gender, etnis, dan kelas sosial. 

Kepahlawanan, pada akhirnya, sering kali bukan hasil pengakuan dari bawah, melainkan hak istimewa yang disahkan dari atas. 

Gelar itu menjadi simbol legitimasi bagi mereka yang pernah, atau masih, memegang kuasa.

Hari Pahlawan, karena itu, seharusnya tidak berhenti pada seremoni atau nostalgia. Ia semestinya menjadi momentum reflektif untuk meninjau ulang siapa yang kita anggap berharga hari ini. 

Kepahlawanan sejati tidak mesti diabadikan dalam batu, disematkan dalam gelar, atau diresmikan oleh negara. 

Ia bisa hidup dalam tindakan sederhana yang menopang kehidupan bersama—pada guru yang tetap mengajar di pelosok atau warga yang bertahan melawan perampasan tanah dan lingkungan. 

Di tangan merekalah nilai pengorbanan dan keberanian menemukan makna sejatinya.

Dengan kesadaran itu, kita diajak membaca ulang sejarah dengan lebih kritis. 

Kepahlawanan bukanlah warisan yang beku, melainkan arena di mana makna terus diperebutkan antara kekuasaan dan masyarakat. 

Mengakui bahwa kepahlawanan adalah produk ekonomi-politik memori berarti menolak menjadikannya alat legitimasi, sekaligus mengembalikan sejarah kepada mereka yang selama ini dilupakan.

Sebab pada akhirnya, pertanyaan yang paling penting bukanlah “siapa pahlawan kita?”, melainkan siapa yang kita izinkan untuk diingat—dan siapa yang sengaja kita hapus dari ingatan. 

Di sanalah inti dari politik memori bekerja, dan di sana jugalah makna Hari Pahlawan seharusnya diuji. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved