Opini
Opini: Hari Pahlawan dan Krisis Kesadaran Sejarah
Di tahun 2025, tantangan untuk memaknai kepahlawanan telah bergeser dari medan fisik ke arena mental dan moral.
Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi dan Filsafat ISBI Bandung
POS-KUPANG.COM - Hari Pahlawan, yang diperingati setiap tanggal 10 November, bukanlah sekadar penanda nostalgia masa lalu, melainkan momentum krusial untuk merefleksikan kembali nilai-nilai fundamental bangsa yang diperjuangkan dengan pengorbanan jiwa dan raga.
Peringatan ini merujuk pada pertempuran heroik di Surabaya pada tahun 1945, sebuah peristiwa yang melambangkan keberanian kolektif dan puncak semangat nasionalisme dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Di tahun 2025, tantangan untuk memaknai kepahlawanan telah bergeser dari medan fisik ke arena mental dan moral.
Di tengah arus globalisasi dan dominasi teknologi digital, kita dihadapkan pada sebuah ironi: semakin mudahnya akses terhadap informasi sejarah.
Baca juga: Peringatan Hari Pahlawan di NTT Ingatkan Persatuan dan Solidaritas Sosial
Namun pada saat yang sama, terjadi penurunan signifikan dalam kesadaran sejarah dan apresiasi terhadap nilai-nilai kepahlawanan, terutama di kalangan generasi muda, para pelajar.
Krisis Kesadaran Sejarah dan Lunturnya Nilai Kepahlawanan Modern
Permasalahan modern paling mendesak yang berkaitan dengan Hari Pahlawan adalah krisis kesadaran sejarah dan degradasi nilai kepahlawanan di kalangan pelajar.
Nilai-nilai inti seperti patriotisme, semangat berkorban, dan integritas yang diwariskan para pahlawan kini terdistorsi atau dianggap tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari kaum muda.
Data survei menunjukkan adanya kekhawatiran serius. Berdasarkan temuan survei yang dirilis oleh Good News from Indonesia (GNFI) pada tahun 2024, mayoritas anak muda jarang mempelajari sejarah di luar pembelajaran formal sekolah, dan preferensi mereka beralih ke media digital (sekitar 70 persen responden) karena buku pelajaran dianggap kurang interaktif.
Lebih lanjut, sebuah survei dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada tahun 2016 telah membuktikan adanya penurunan nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme, dan patriotisme di kalangan generasi muda pasca-reformasi.
Meskipun media digital memiliki potensi besar, ini juga menimbulkan risiko, yaitu penyajian sejarah yang dangkal, terfragmentasi, atau bahkan terdistorsi (disebut sebagai remembered history yang dibungkus asumsi kultural, menurut Taufik Abdullah).
Realitasnya, ketertarikan terhadap sejarah terhambat oleh metode penyampaian di sekolah yang seringkali monoton, berfokus pada hafalan tanggal, dan kurang kontekstual.
Akibatnya, terjadi lunturnya nilai-nilai kepahlawanan, nasionalisme, dan patriotisme di kalangan generasi muda, sebagaimana disimpulkan dalam beberapa survei yang menunjukkan rendahnya antusiasme dalam kegiatan nasionalisme seperti upacara bendera.
Gejala ini berujung pada krisis identitas nasional, dimana sebagian generasi muda cenderung menganggap hal-hal dari luar negeri lebih superior atau bahkan mengalami kesulitan mencari sosok teladan kepahlawanan dari orang yang masih hidup (JJ Rizal).
Lunturnya kesadaran sejarah ini dapat ditinjau melalui pandangan filsuf eksistensialis, Martin Heidegger, yang membahas konsep "Kealpaan" (Forgetfulness).
| Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur |
|
|---|
| Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies |
|
|---|
| Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh |
|
|---|
| Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah |
|
|---|
| Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Inosensius-Enryco-Mokos1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.