Opini

Opini: Pahlawan dan Politik Ingatan

Peringatan itu dirayakan di tengah kontroversi (wacana) penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI FERDINANDUS JEHALUT
Ferdinandus Jehalut 

Penetapan itu adalah tindakan politik untuk perebutan sumber daya simbolik—upaya untuk menghidupkan kembali ingatan yang menguntungkan kelompok tertentu.

Politik Ingatan

Kontroversi (wacana) penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional kembali menyingkap satu hal penting: ingatan adalah arena perebutan kuasa. 

Pierre Nora (1984) menyebut monumen, museum, dan peringatan nasional sebagai lieux de mémoire—“tempat-tempat ingatan” tempat negara menanamkan identitas kolektif sambil menyaring siapa yang layak diingat dan siapa yang dilupakan. 

Melalui mekanisme inilah sejarah dijadikan alat politik: ia tidak sekadar mencatat masa lalu, tetapi membentuk kesetiaan hari ini.

Indonesia tidak pernah luput dari praktik itu. Pada masa Orde Lama, negara menonjolkan pahlawan revolusi seperti Diponegoro, Kartini, Ki Hadjar Dewantara, dan Sukarno. 

Mereka mewakiliki semangat antikolonial dan kebangsaan. Pada masa Orde Baru, kepahlawanan bergeser menjadi militeristik: negara memuliakan para jenderal korban G30S/PKI dan menyingkirkan narasi tandingan. 

Setelah reformasi, wacana memang lebih plural: hadir pahlawan perempuan, tokoh daerah, dan aktivis sipil. 

Namun, beberapa bulan terakhir kita seoalah kembali diajak untuk meromantisasi Orde Baru lewat wacana penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional. 

Langkah ini menggambarkan bahwa politik ingatan itu belum bergeser dari logika kekuasaan.

Dari kaca mata ekonomi politik, kita menyimak bahwa di balik proses administratif pemberian gelar “pahlawan nasional”, tersimpan kepentingan simbolik dan ekonomi yang besar. 

Penetapan pahlawan bukan hanya bentuk penghormatan moral, tetapi juga strategi politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. 

Gelar itu membawa dampak nyata: nama mereka diabadikan di jalan, dijadikan monumen, dimasukkan ke kurikulum, bahkan menjadi sumber dana wisata sejarah.

Pierre Bourdieu (1991) mengingatkan bahwa memori publik menyimpan kapital simbolik yang dalam masyarakat modern dapat berubah menjadi kapital ekonomi. 

Artinya, siapa yang dikenang dan bagaimana ia dikenang berpengaruh langsung pada arus kekuasaan dan modal di sekitar narasi resmi negara.

Kini, kepahlawanan tak lagi hanya soal nilai, tetapi juga bagian dari industri. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved