Opini
Opini: Hari Pahlawan dan Krisis Kesadaran Sejarah
Di tahun 2025, tantangan untuk memaknai kepahlawanan telah bergeser dari medan fisik ke arena mental dan moral.
Bagi Heidegger, manusia modern cenderung hidup dalam Dasein (keberadaan) yang otentik dan inotentik.
Kehidupan inotentik adalah ketika individu (pelajar) tenggelam dalam rutinitas sehari-hari, didominasi oleh "mereka" (das Man), dan melupakan pertanyaan mendasar tentang keberadaan dirinya.
Dalam konteks sejarah, pelajar yang tidak memahami akar perjuangan bangsanya (Hari Pahlawan) berarti hidup dalam kealpaan historis, melepaskan tanggung jawab mereka sebagai pewaris, dan gagal menghubungkan masa lalu dengan situasi saat ini.
Kepahlawanan sejati di era modern, seperti yang diajarkan oleh Immanuel Kant, adalah tentang bertindak dengan kehendak baik (good will) yang didasari pada prinsip moral universal.
Bagi pelajar, ini berarti mewujudkan nilai pahlawan, integritas, kerja keras, kejujuran, bukan demi pujian, tetapi karena itu adalah tindakan yang benar.
Ketika pelajar tidak mampu mengaitkan nilai-nilai ini dengan perjuangan 10 November, mereka kehilangan good will historis yang seharusnya menjadi fondasi bagi tindakan kontributif mereka di masa kini.
Solusi Kurikulum dan Implementasi Sekolah
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan sebuah revolusi pedagogi yang tidak hanya mengajarkan fakta sejarah, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sejarah yang relevan secara kontekstual, khususnya melalui pembaruan kurikulum dan praktik di sekolah.
Pemerintah dan sekolah-sekolah (guru dan pengajar) penting untuk melakukan reorientasi kurikulum.
Dari hafalan ke historical consciousness merupakan langkah awal yang krusial.
Kurikulum sejarah di sekolah harus direorientasi secara fundamental untuk fokus pada kesadaran sejarah (historical consciousness) yang mendalam.
Hal ini sejalan dengan pandangan sejarawan Taufik Abdullah yang menekankan bahwa belajar sejarah bukanlah sekadar mengetahui tonggak peristiwa, tetapi kemampuan mengurai benang-benang peristiwa yang membentuk identitas.
Untuk mewujudkan hal ini, penerapan di kurikulum merdeka harus secara eksplisit mendorong pembelajaran sejarah yang berpusat pada peserta didik, bersifat kontekstual, dan mengadopsi pendekatan Discovery Learning atau Problem-Based Learning.
Pendekatan ini harus diperkuat dengan penggunaan sejarah lokal sebagai jembatan, di mana siswa diajak mendekatkan diri pada situasi riil dengan mempelajari pahlawan atau peristiwa di lingkungan terdekat mereka, sehingga relevansi sejarah menjadi lebih terasa dan meningkatkan rasa tanggung jawab serta nasionalisme.
Selain itu, materi harus mencakup kepahlawanan kontemporer, memuat studi kasus pahlawan modern yang relevan dengan Generasi Z (misalnya, pahlawan lingkungan, pahlawan inovasi teknologi, atau aktivis sosial yang berintegritas), sehingga semangat kepahlawanan dapat direaktualisasi sebagai tindakan nyata dan etis di berbagai bidang.
Selain reorientasi kurikulum, diperlukan pula inovasi pembelajaran berbasis digital dan kritis untuk menjembatani kesenjangan dengan preferensi pelajar terhadap media modern.
| Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur |
|
|---|
| Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies |
|
|---|
| Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh |
|
|---|
| Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah |
|
|---|
| Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Inosensius-Enryco-Mokos1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.