Opini

Opini: Pertarungan Narasi Kuasa vs Nurani Publik di Kasus Prada Lucky

Fokus harus dikembalikan pada keadilan bagi Prada Lucky sebagai hak publik, bukan sekadar urusan internal TNI.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DANANG N RUSWANTARA
Danang Novika Ruswantara 

Oleh: Danang Novika Ruswantara 
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang, Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Tragedi kematian Prada Lucky Saputra Namo menjadi simbol luka kolektif dan ujian bagi negara dalam memenuhi rasa keadilan. 

Ketika nyawa seorang abdi negara muda melayang akibat dugaan penyiksaan oleh lebih dari 22 seniornya, nurani masyarakat terkoyak. 

Sebuah respons dari Korem 161/Wira Sakti kemudian dipersepsikan oleh sebagian masyarakat memperbesar kemarahan publik akibat dugaan minimnya kepekaan atas suasana duka.

Langkah tegas Kodam IX/Udayana baru-baru ini menjadi sorotan tajam. Berdasarkan laporan Tribunnews.com, Pelda Chrestian Namo, ayah dari mendiang Prada Lucky, dilaporkan secara resmi oleh Kodim 1627/Rote Ndao ke Detasemen Polisi Militer (Denpom) IX/1 Kupang pada Rabu (5/11/2025). 

Baca juga: Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh

Pelaporan ini terkait dugaan pelanggaran disiplin serius, yakni hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah pada tahun 2018.

Pertanyaan penting secara akademis: apakah timing pelaporan ini merupakan bagian dari penegakan aturan yang konsisten, ataukah sebuah langkah komunikasi yang berpotensi kurang sensitif terhadap konteks duka dan tuntutan keadilan publik?

Timing, Presepsi Publik, dan Analisis Teoritis

Pihak TNI sebenarnya telah memberikan penjelasan resmi. Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) IX/Udayana, Kolonel Inf Widi Rahman, S.H., M.Si., menegaskan bahwa proses hukum terhadap Pelda Chrestian Namo merupakan bagian dari penegakan disiplin internal TNI.

“Perlu kami tegaskan bahwa proses hukum terhadap Pelda Chrestian Namo murni karena pelanggaran disiplin prajurit. Hal ini tidak ada kaitannya dengan kasus lain,” ujarnya kepada awak media di Denpasar, Bali.

Pernyataan ini penting untuk menegaskan posisi institusi. Tentu saja, publik perlu menghormati jalannya proses hukum, baik terhadap 22 tersangka maupun terhadap Pelda Chrestian Namo, dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah bagi semua pihak.

Dari perspektif komunikasi krisis, langkah ini menimbulkan dua kemungkinan interpretasi.

Pertama, TNI konsisten menegakkan disiplin, sebagaimana dinyatakan Kapendam. 

Kedua, publik bisa jadi mempersepsikan timing ini sebagai upaya pengalihan isu karena momentumnya yang bersamaan dengan puncak perhatian media terhadap kasus penyiksaan.

Meskipun TNI telah memberikan penjelasan resmi, tantangannya adalah mengelola persepsi publik yang cenderung melihat kaitan kausal dalam peristiwa yang berdekatan.

Secara teoretis, bagaimana publik membaca manuver ini dapat dipahami melalui lensa Framing (Entman, 1993). 

Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved