Opini
Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial
Jaringan disinformasi WhatsApp di Brasil mendorong radikalisasi politik dan merusak kredibilitas institusional.
Oleh: Maurianus F.W. da Cunha
Alumnus IFTK Ledalero, Flores dan Universitas Nanzan, Jepang. Seorang rohaniwan yang berkarya di Keuskupan Bolzano, Italia Utara.
POS-KUPANG.COM - Dalam Leviathan (1651), Thomas Hobbes memandang politik sebagai perjuangan untuk ketertiban di tengah kekacauan nafsu dan ketakutan manusia.
Teori kontrak sosialnya berasumsi bahwa individu, yang termotivasi oleh insting bertahan hidup, menyerahkan otonomi mereka kepada kekuasaan yang berdaulat untuk menjaga perdamaian.
Namun, di abad ke-21, perang Hobbes “perang semua melawan semua” muncul kembali—bukan di medan perang, melainkan di platform digital di mana narasi, disinformasi, dan persuasi emosional menggantikan senjata tradisional.
Media sosial telah berubah menjadi arena perang simbolis di mana jaringan propaganda, influencer, dan algoritma bersaing untuk legitimasi politik.
Dinamika Hobbesian ini terlihat di Indonesia dalam pertempuran online yang berkaitan dengan ketidaksetaraan ekonomi, rivalitas elit, dan legitimasi pemerintah. Ini mengubah diskusi publik menjadi konflik digital yang tidak berujung.
Kerangka Hobbesian dan Negara Digital
Hobbes berpendapat bahwa anarki, suatu keadaan alami yang dicirikan oleh survivalisme dan ketidakpercayaan, akan muncul jika tidak ada kepemimpinan yang kuat.
Kondisi ini didefinisikan dalam konteks digital sebagai ekosistem online yang tidak teratur di mana individu dan kelompok berusaha menentukan "kebenaran".
Aktor politik, baik negara maupun non-negara, memanfaatkan kekacauan ini dengan membuat narasi yang berfungsi sebagai alat kontrol.
Foucault (1977) menemukan bahwa kekuasaan tidak hanya menggunakan kekuatan, tetapi juga melalui "produksi kebenaran".
Dengan pertumbuhan jaringan "buzzer" yang terkoordinasi dan propaganda algoritmik, tren ini terlihat dalam lanskap media Indonesia saat ini.
Diskursus online menjadi medan pertempuran untuk konflik narasi selama krisis politik, seperti debat kebijakan ekonomi, reformasi kepolisian, atau perombakan kabinet.
Menurut Lim (2020), media sosial Indonesia telah menjadi “Kumpulan algoritmik” yang mempromosikan polarisasi dan mengapresiasi kemarahan daripada debat yang rasional.
Kumpulan-kumpulan ini membentuk kedaulatan digital mikro, dengan berbagai kubu mengklaim kendali atas makna.
Negara, yang menyadari medan baru ini, sering kali mengkooptasinya, menggunakan buzzer dan influencer internet untuk memperkuat otoritasnya dan meredam kritik.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Ilustrasi-media-sosial-123.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.