Opini
Opini: Logika Hukum yang Melukai Korban
Seorang anak yang terjebak dalam prostitusi, sekalipun terlihat "proaktif", bukanlah seorang wirausahawan jasa seksual.
Informasi awal inilah yang menjadi dasar bagi Polri untuk membuat Laporan Polisi Model A.
Menuntut adanya laporan konvensional dalam kasus seperti ini adalah sebuah pandangan usang yang akan melumpuhkan penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan modern yang terorganisir.
Puncak dari rangkaian logika yang problematis adalah argumen mengenai yurisdiksi.
Ahli berpendapat, karena video pelecehan ditemukan oleh AFP di Australia, maka locus delicti (tempat kejadian perkara) untuk delik UU ITE berada di Australia, bukan Indonesia.
Konsekuensinya, menurutnya, Indonesia tidak berwenang mengadili dan terdakwa semestinya diekstradisi.
Ini adalah pemahaman yurisdiksi yang rabun dan berbahaya. Hukum pidana Indonesia menganut asas teritorial, di mana negara berwenang mengadili setiap tindak pidana yang terjadi di wilayahnya (Pasal 2 KUHP).
Perbuatan eksploitasi seksual terhadap korban anak-anak Indonesia terjadi secara fisik di Kupang, Indonesia.
Fakta bahwa bukti digitalnya ditemukan atau diakses di Australia tidak serta-merta memindahkan tempat kejadian perkara.
Lebih jauh, UU ITE sendiri menganut asas yurisdiksi ekstrateritorial. Jika logika ahli ini diikuti, akan tercipta lubang hukum raksasa: seorang pelaku di Indonesia bisa memproduksi konten eksploitasi anak, menyebarkannya ke server luar negeri, dan selama konten itu ditemukan di luar negeri, ia bisa lolos dari jerat hukum Indonesia.
Ini tidak hanya akan menjadikan Indonesia surga bagi penjahat siber, tetapi juga mengkhianati semangat kerja sama internasional dalam memberantas kejahatan luar biasa seperti eksploitasi seksual anak.
Mengembalikan Hukum pada Khitahnya
Keterangan ahli di persidangan seharusnya menjadi jangkar logika bagi hakim dalam menimbang keadilan.
Namun, rangkaian argumen yang disajikan dalam kasus ini justru berisiko menarik kapal keadilan ke arah yang salah.
Sebuah nalar hukum yang menyalahkan anak, yang lebih mementingkan stempel dokter forensik daripada luka korban, dan yang gagal memahami realitas kejahatan lintas batas, bukanlah nalar hukum yang kita harapkan.
Kasus ini sejatinya menjadi cerminan penting dari pertentangan antara tradisi hukum formalistik dan tuntutan keadilan substantif yang berpihak pada kelompok rentan di Indonesia.
Opini: Membaca Fenomena Eat the Rich di Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Menyoal Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini: Remaja dan Seni Mencintai, Membaca Ulang Pacaran di Zaman Kini |
![]() |
---|
Opini: Mohon Tenang Sedang Pemilihan Rektor Undana |
![]() |
---|
Opini: Kasus Eks Kapolres Ngada Cacat Hukum atau Cacat Nurani? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.