Opini
Opini: Logika Hukum yang Melukai Korban
Seorang anak yang terjebak dalam prostitusi, sekalipun terlihat "proaktif", bukanlah seorang wirausahawan jasa seksual.
Seorang anak yang terjebak dalam prostitusi, sekalipun terlihat "proaktif", bukanlah seorang wirausahawan jasa seksual.
Ia adalah korban dari rantai kemiskinan, disfungsi keluarga, bujuk rayu predator (grooming), atau kegagalan sistem sosial dalam melindunginya.
Dalam penelitian yang dikutipnya sendiri (bukan penelitiannya sendiri), terungkap bahwa anak-anak di Lewoleba melacurkan diri dengan tarif serendah Rp 20.000 dan ada yang memulainya di usia 11 atau 12 tahun.
Menggunakan data tragis ini untuk menyimpulkan bahwa mereka bukan korban adalah sebuah lompatan logika yang kejam.
Menempatkan beban "niat" dan "inisiatif" pada pundak seorang anak dalam relasi kuasa yang timpang dengan orang dewasa adalah bentuk reviktimisasi yang paling subtil.
Alih-alih mengutuk perbuatan eksploitatif orang dewasa, nalar hukum semacam ini justru menggeser kesalahan kepada korban.
Ini sama saja memberi karpet merah bagi predator seksual untuk berkelit dari jerat hukum dengan dalih "anak itu yang mau".
Kecenderungan untuk memprioritaskan prosedur formal di atas keadilan substantif juga tecermin dalam dua argumen lain yang diajukan sang ahli.
Pertama, mengenai keabsahan Visum et Repertum (VeR). Ia menyatakan bahwa VeR yang tidak dibuat dan ditandatangani oleh dokter forensik tidak memiliki nilai pembuktian.
Pandangan ini terlalu kaku dan tidak sejalan dengan Pasal 133 KUHAP yang secara eksplisit memberi kewenangan kepada penyidik untuk meminta keterangan ahli kepada "ahli kedokteran kehakiman atau dokter".
Di negara kepulauan seperti Indonesia dengan distribusi tenaga ahli forensik yang tidak merata, menafikan VeR dari dokter umum sama saja dengan menutup pintu keadilan bagi ribuan korban kekerasan seksual di daerah-daerah terpencil.
Hakim memiliki kebijaksanaan untuk menilai bobot pembuktian setiap alat bukti, termasuk VeR dari dokter umum.
Kedua, klaim bahwa perkara ini cacat formil karena tidak ada laporan, pengaduan, atau operasi tangkap tangan.
Argumen ini seolah mengabaikan fakta bahwa kasus ini justru terungkap berkat kerja sama internasional antara Polri dengan Kepolisian Federal Australia (AFP) melalui jalur Interpol.
Di era kejahatan siber transnasional, banyak kasus besar tidak dimulai dari laporan warga di kantor polisi, melainkan dari pertukaran informasi intelijen.
Opini: Membaca Fenomena Eat the Rich di Indonesia |
![]() |
---|
Opini: Menyoal Rendahnya Indeks Pembangunan Manusia di Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini: Remaja dan Seni Mencintai, Membaca Ulang Pacaran di Zaman Kini |
![]() |
---|
Opini: Mohon Tenang Sedang Pemilihan Rektor Undana |
![]() |
---|
Opini: Kasus Eks Kapolres Ngada Cacat Hukum atau Cacat Nurani? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.