Opini

Opini: Logika Hukum yang Melukai Korban

Seorang anak yang terjebak dalam prostitusi, sekalipun terlihat "proaktif", bukanlah seorang wirausahawan jasa seksual. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI GREG R DAENG
Greg R Daeng. 

Oleh: Greg Retas Daeng, S.H
Mahasiswa Fakultas Hukum Undana 2007-2013

POS-KUPANG.COM - Ruang sidang adalah panggung pencarian kebenaran materiil. 

Di tengah dialektika antara jaksa penuntut umum dan penasihat hukum, keterangan seorang ahli diharapkan hadir laksana suluh yang menerangi lorong gelap pembuktian, membantu hakim memutus perkara seadil-adilnya. 

Namun, apa jadinya jika suluh itu justru memancarkan cahaya yang menyilaukan dan mengaburkan, alih-alih menuntun?

Kekhawatiran inilah yang mengemuka saat menyimak substansi keterangan Ahli Pidana, Deddy R. Ch. Manafe, S.H., M.Hum., ( Pak Dedi Manafe)  dari  Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dalam sidang lanjutan kasus dugaan pencabulan dan eksploitasi seksual anak dengan terdakwa eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widaya Dharma.  

Baca juga: Opini: Benarkah Korupsi itu Takdir?

Sang ahli pidana ini dihadirkan oleh Kuasa Hukum terdakwa untuk menerangkan konteks unsur dan norma pidana yang sedang didakwakan kepada kliennya. 

Alih-alih memberikan pencerahan, sejumlah argumen yang dibangun sang ahli berpotensi mencederai nalar publik, mengebiri semangat perlindungan anak, dan secara tragis, melukai korban untuk kedua kalinya.

Tulisan ini sebagai bentuk respons atas Keterangan pak Dedi yang dimuat di dua media online (globalindonews.com dan  ntb.idntimes.com ) yang terbit pada tanggal 15 September 2025. 

Sebagai bekas murid beliau, saya merasa punya tanggungjawab moral- intelektual untuk memberikan catatan kriits atas keilmuan beliau yang dulu perna diajarkan kepada sekian ratus mahasiswa, termasuk saya, anak kampung dari pelosok Nagekeo. 

Dalam keterangan beliau sebagai ahli, salah satu poin paling fundamental dan berbahaya adalah distingsi kaku yang ia bangun antara anak yang “dilacurkan” dan anak yang “melacurkan diri”. 

Menurutnya, jika seorang anak berinisiatif atau terkesan menjual jasa seksualnya sendiri—misalnya melalui aplikasi digital MiChat —maka ia tidak dapat dikualifikasikan sebagai korban tindak pidana. 

Implikasi lanjutannya, orang dewasa yang menjadi "klien" atau pasangan seksualnya juga tidak dapat dipandang sebagai pelaku kejahatan (pleger).

Bagi kalangan hukum, Ini adalah logika terbalik yang secara fundamental bertentangan dengan seluruh bangunan hukum dan prinsip perlindungan anak di Indonesia. 

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) hadir sebagai lex specialis (hukum khusus) yang secara tegas menyatakan bahwa setiap persetubuhan atau perbuatan cabul terhadap anak (individu di bawah 18 tahun) adalah kejahatan. Titik. Tidak ada klausa "kecuali jika anaknya yang berinisiatif".

Dari perspektif sosio-legal, argumen pak Dedi tersebut mengabaikan sepenuhnya realitas kerentanan anak. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved