Opini
Opini: Benarkah Korupsi itu Takdir?
Ironisnya, sebagian orang mulai percaya bahwa korupsi adalah takdir. Seolah Tuhan menulisnya dalam kitab nasib bangsa.
Sungguh ironi yang tak kunjung usai: semua agama berseru menolak korupsi, namun ia tetap tumbuh subur, seolah tak tersentuh oleh doa dan doktrin.
Barangkali karena agama, yang seharusnya menjadi fondasi moral, justru sering dijadikan ornamen belaka—hiasan di pidato, bukan pedoman di kebijakan.
Korupsi menggurita bukan karena kita kekurangan ajaran, tetapi karena nilai-nilai luhur hanya diajarkan di ruang kelas, bukan di ruang rapat tempat keputusan menentukan nasib banyak orang.
Kejahatan ini membudaya karena keteladanan telah digantikan oleh pencitraan; karena integritas tak lagi diwariskan, melainkan dipoles untuk panggung.
Maka, korupsi tetap hidup bukan karena ia kuat, tetapi karena kita terlalu sering membiarkannya bernapas di sela-sela kesalehan yang hanya tampak di permukaan.
Korupsi bukan takdir, dan karena itu ia bisa mati—jika kita sungguh-sungguh menghendakinya.
Dosa publik ini akan lenyap bukan oleh doa yang dibisikkan di balik seragam, melainkan oleh keberanian yang lahir dari hati yang jujur.
Kanker sosial ini akan sembuh bukan oleh retorika, tetapi oleh tekad yang menolak menjadikannya bagian dari budaya.
Sudah saatnya kita menghidupkan kembali ajaran agama, bukan sebagai simbol yang digantung di dinding, tetapi sebagai kompas moral yang menuntun langkah kita di lorong kekuasaan dan kehidupan.
Bangsa ini tidak butuh kesalehan yang hanya terucap di bibir, melainkan kejujuran yang berakar dalam qalbu. Karena korupsi bukan warisan, bukan kutukan, bukan keniscayaan.
Kejahatan birokrasi ini adalah dosa yang bisa ditolak—dan harus ditolak. Bukan nanti. Tapi sekarang. Kata orang Manggarai, ce pisa keta kole eme toe leso hoo (kapan lagi kalau bukan hari ini). (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.