Opini
Opini: Benarkah Korupsi itu Takdir?
Ironisnya, sebagian orang mulai percaya bahwa korupsi adalah takdir. Seolah Tuhan menulisnya dalam kitab nasib bangsa.
Dalam terang ajaran Kristen, korupsi bukan sekadar pelanggaran etis, melainkan dosa struktural yang merusak jalinan relasi antara manusia dengan Tuhan dan sesamanya.
Korupsi adalah kerakusan yang menyamar dalam liturgi, menyusup ke dalam doa-doa yang kehilangan makna, dan bersembunyi di balik senyum para pemimpin yang memoles cawan bagian luar, sementara bagian dalamnya penuh rampasan.
Kitab Suci menyingkap tabir kemunafikan itu dengan kecaman yang tajam: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang munafik! Sebab kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalamnya penuh rampasan dan kerakusan” (Matius 23:25).
Dalam ayat ini, korupsi bukan hanya soal uang yang dicuri, tetapi tentang jiwa yang kehilangan arah, tentang kekuasaan yang tak lagi melayani, melainkan menindas.
Gereja, sebagai suara kenabian di tengah dunia yang retak, memanggil umatnya untuk menjadi garam dan terang—bukan bagian dari sistem yang membusuk, melainkan penawar luka zaman.
Sebab dalam iman Kristen, pertobatan bukan sekadar ritual, melainkan revolusi batin yang menolak tunduk pada kejahatan yang dilembagakan.
Dalam kebijaksanaan Hindu yang berakar pada kesadaran kosmis dan hukum karma, korupsi bukanlah sekadar pelanggaran sosial, melainkan tindakan adharma— ketidakbenaran yang mengguncang keseimbangan semesta.
Praktik korupsi bukan takdir yang tak terelakkan, melainkan benih penderitaan yang ditanam dengan sadar oleh jiwa yang memilih jalan gelap.
Bhagavad Gita, kitab suci yang menuntun manusia menuju pembebasan, mengingatkan dengan lembut namun tegas: “Kejahatan yang dilakukan dengan kesadaran akan menghasilkan penderitaan yang berlipat.”
Maka, korupsi adalah pilihan yang mengikat jiwa dalam rantai karma, menjeratnya dalam siklus kelahiran dan derita yang tak kunjung usai.
Daya destruktifnya, tidak hanya menyasar bagian luar, tetapi juga mencemari batin, menjauhkan manusia dari dharma dan dari kebebasan sejati.
Dalam pandangan Hindu, melawan korupsi bukan sekadar tugas sosial, tetapi laku spiritual—sebuah upaya untuk memulihkan harmoni, menebus kesalahan, dan menapaki kembali jalan menuju moksha (kemerdekaan jiwa).
Dalam ajaran Buddha yang lembut namun tegas, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum namun pelanggaran Sila (kemoralan) dan juga munculnya Tanha—nafsu keinginan yang tak terkendali, yang dapat menyesatkan manusia dari Jalan Tengah menuju jurang penderitaan.
Praktik korupsi lahir dari pikiran yang belum tercerahkan, dari batin yang masih terikat pada ilusi kekuasaan dan harta.
Seperti yang diungkapkan dalam Dhammapada, “Mereka yang bergembira dengan nafsu indra akan jatuh ke dalam arus (Kehidupan) seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri. Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu. Mereka meninggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan serta melepaskan kesenangan-kesenangan indra. Dari pelepasan lahir kedamaian.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.