Opini
Opini: Benarkah Korupsi itu Takdir?
Ironisnya, sebagian orang mulai percaya bahwa korupsi adalah takdir. Seolah Tuhan menulisnya dalam kitab nasib bangsa.
Oleh: Hendrikus Maku, SVD
Alumnus SMPN Iteng Manggarai, Angkatan 1993-1996, sedang belajar di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
POS-KUPANG.COM - Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi (makmur, tenteram, subur, dan kaya raya), korupsi telah menjelma menjadi ritual harian.
Praktik korupsi tidak lagi sembunyi di lorong gelap, tapi duduk santai di ruang rapat, tersenyum di balik proyek fiktif, dan berdoa sebelum mencuri.
Ironisnya, sebagian orang mulai percaya bahwa korupsi adalah takdir. Seolah Tuhan menulisnya dalam kitab nasib bangsa.
Baca juga: Kejari Manggarai Barat Tahan Dua Orang Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Jaringan Irigasi Wae Kaca
Mari kita bantah mitos itu. Mari kita buka lembaran ajaran dari agama-agama besar di Indonesia, dan kita tanyakan: benarkah korupsi itu takdir?
Uraian Kritis Lintas Agama tentang Dosa yang Diinstitusikan
Islam mengajarkan bahwa korupsi bukanlah takdir yang diwariskan dari langit, melainkan pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan oleh Tuhan dan masyarakat.
Praktik korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi luka moral yang menganga di tubuh umat.
Dalam tradisi Islam, korupsi hadir dalam berbagai rupa: ghulul sebagai penggelapan, risywah sebagai suap, saraqah sebagai pencurian, dan al-gasy sebagai penipuan.
Al-Qur’an, dalam beberapa surat, antara lain QS Al-Baqarah: 188 dan QS An-Nisa: 29, mengecam keras tindakan ini, menyerukan agar harta tidak dijadikan alat penindasan, melainkan dijaga sebagai titipan ilahi.
Sabda Nabi Muhammad SAW pun mempertegas, bahwa korupsi adalah dosa yang mengundang laknat, bukan sekadar kesalahan administratif (bdk. HR. Muslim, No. 3415).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (25–29 Juli 2000 M / 23–27 Rabi’ul Akhir 1421 H) menyatakan, korupsi sebagai perbuatan haram, dan hadiah kepada pejabat yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan sebagai bentuk kejahatan moral.
Islam menuntut kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan publik, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah—bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang pengabdian, bukan ladang kerakusan.
Dalam pandangan Islam, takdir bukanlah dalih untuk mencuri, melainkan ruang tanggung jawab yang harus diisi dengan pilihan-pilihan bermoral. Maka, korupsi adalah keputusan yang bisa dan harus ditolak.
Korupsi bukan takdir, melainkan dosa sosial yang wajib dilawan oleh setiap jiwa yang ingin menjaga amanah dan menegakkan keadilan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.