Opini

Opini - Tabolabale: Dulce Est Desipere in Loco

Sindiran  penuh satir ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut konsistensi dan ketegasan pemimpinnya.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JB KLEDEN
JB Kleden 

Oleh: JB Kleden 
Dosen Prodi Kepemimpinan, Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan, IAKN Kupang

POS-KUPANG.COM - Pekan ini ruang kerja terasa bergairah dengan lagu “ Tabolabale” yang dinyanyikan secara kolaboratif oleh Silet Open Up bersama Jacson Zeran, Juan Resa dan Diva Aurel.  

Meski di luar sana cuaca sedang ekstrem, angin kencang menggugurkan putik-putik mangga, dan pengapnya residu aksi demo yang terus menjadi bisik-bisik liar dalam senyap. 

Lagu dengan karakteristik yang unik karena perpaduan gaya dan budaya timur ini menjadi viral setelah dihadirkan di Istana Negara pada upacara HUT Kemerdekaan Indonesia ke-80, 17 Agustus 2025. 

Beatnya yang enerjik, dengan lirik yang relatable, dipadu aksen lokal yang terasa segar di telinga menghipnotis siapapun yang mendengarnya untuk berjingkrak. 

Tidak heran para tamu undangan dan peserta upacara kemerdekaan dibuatnya histeria. Dan Presiden Probowo pun turun menari dengan segala keriangan. “Mari berpesta, Mari beria.” 

Baca juga: Opini: Balada Negeri Tabola Bale

Tapi yang menakjubkan saya, di tengah gelombang aksi protes, “ Tabolabale” muncul sebagai momen dialektis yang mengandung kemungkinan yang tak terduga namun memikat. 

Dikemas dalam nuansa cinta dan kegelisahan emosional, lagu ini menyimpan metafora sosial yang lebih dalam: tentang bagaimana kata-kata menjadi alat permainan para elite.

***

Tabolabale ” adalah kosakata bahasa Melayu khas Timur Indonesia seperti Maluku Utara, Maluku dan Nusa Tenggara Timur memiliki makna yang lebih luas dari sekadar pergi dan pulang secara berulang-aling, berhubungan dua sisi (kertas misalnya) atau memutar-balikkan suatu perkataan. 

Tabolabale juga berhubungan dengan kondisi emosional yang tak stabil, penuh keraguan, dan mudah berubah arah seperti isi lagu tersebut. 

Dalam pengertian ini, lagu ‘Tabolabale‘ seperti menemukan relevansi baru dalam lanskap komunikasi pejabat kita akhir-akhir ini yang kerap berubah-ubah, penuh retorika dan minim kejelasan. 

Lagu dengan logat khas Timur Indonesia ini seperti meneroka situasi komunikasi elite yang gagal menggunakan akal sehat dan empati sosial dalam berbicara dan menanggapi kritik.

Hal ini bukan hanya menciptakan kebingungan di tengah masyarakat tetapi juga memperlemah legitimasi institusi yang dipimpinnya dan memicu distrust. 

Masyarakat cenderung memaklumi jika disertai alasan yang masuk akal. Karena bahasa politik, sebagaimana dikatakan George Orwell, kadang memang didesain untuk mengubah kebohongan menjadi kebenaran, menjelaskan hidup mewah di tengah penderitaan rakyat sebagai sesuatu yang terhormat.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved