Opini

Opini - Tabolabale: Dulce Est Desipere in Loco

Sindiran  penuh satir ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut konsistensi dan ketegasan pemimpinnya.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JB KLEDEN
JB Kleden 

Namun jika itu dilakukan tanpa refleksi, tanpa belajar, dan terus berulang, maka bisa jadi itu adalah gejala dari karakter yang belum matang secara kognitif maupun emosional. 

Maka jangan heran kalau  netizen Indonesia sangat jeli dan kreatif dalam mengomentari: “Pemimpin galau, omongannya kaya WiFi public, ada sinyal tapi insecure. Kebijakannya zig-zag kayak ABG labil.”

***

Sindiran  penuh satir ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut konsistensi dan ketegasan pemimpinnya. 

Tabolabale dalam perilaku kepemimpinan bukan hanya soal pribadi yang bimbang, tapi bisa mencerminkan: Krisis kepemimpinan, ketakutan akan kehilangan legitimasi atau kecenderungan untuk menghindari tanggung jawab.  

Retorika yang menari di ruang publik tanpa arah, tanpa makna bukanlah tanda kecendekiaan, melainkan gejala dari krisis kepemimpinan yang tak mampu menjembatani logika dan realitas. 

Ia mengindikasikan sifat dasar ‘bebal’ yang  berakar pada rendahnya kepercayaan diri. 

Ketika pimpinan terus mengeluarkan pernyataan yang ‘tabolabale’, seperti menyangkal fakta, menyederhanakan penderitaan rakyat, atau mengeluarkan kebijakan yang jelas-jelas bermasalah, maka kita sedang berhadapan dengan ‘kebebalan’  yang dilembagakan.  Kategori ini kacau, tapi manusia memang tak selamanya manis. 

Sastrawan dan sosiolog Okky Madasari dalam artikelnya “Bebalisme dan Kejadongan”, (Kompas.id 30/8) menjelaskan “kebebalan telah menjadi sebuah sistem dalam kebijakan, dalam kehidupan berpolitik, terinternalisasi dalam diri setiap pejabat dan politisi.”  

Menurutnya, fenomena ‘bebalisme’ sebagai sebuah konsep sosiologi diperkenalkan oleh Syed Hussein Alatas, sosiolog asal Malaysia dan pendiri Departemen Malay Studies National University of Singapore, dalam bukunya, ‘Intellectuals in Developing Societies (1977)’. 

“Bebalisme,” tulisnya ” memang lahir dari kata ’bebal’, bukan terjemahan dari kata asing, awalnya diperkenalkan dalam mendiagnosis kondisi para intelektual yang kehilangan kemampuan berpikir kritis dan mandiri.”

‘Kebebalan’ para pemimpin menyata ketika mereka  membuka mulut. Berulang kali kita mendengar pernyataan yang bukan hanya keliru, melainkan sama sekali tanpa empati. 

Ada pejabat yang meminta rakyat ”jangan terlalu sering makan nasi” ketika menanggapi keluhan atas kenaikan harga beras. Ada pula yang menyuruh masyarakat miskin ”bersyukur masih bisa makan tempe” ketika ada yang mengeluhkan turunnya daya beli. 

Lebih sadis lagi ada pejabat yang dengan enteng berkata “Bodoh amat. Emang gua pikirin. Lu siapa?” ketika membuat Keputusan yang merugikan bawahannya.

Seperti ditulis Okky Madasri dalam artikelnya pernyataan-pernyataan ini bukan sekadar kekeliruan lidah. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved