Opini
Opini: Sepotong Lauk yang Dibawa Pulang
Makanannya selalu habis dikonsumsi dan tak pernah ada masalah keracunan atau sakit pada anak didiknya.
Sebuah Kisah Tentang Makan Bergizi Gratis
Oleh: Adrianus Ngongo
Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI – Dinas P dan K Provinsi NTT
POS-KUPANG.COM - Dalam kunjungan kerja ke SMA dan SMK Karya Ruteng pada awal November lalu, saya diceritakan sebuah kisah gembira dan mengharukan oleh Kepala SMA Karya Ruteng Bapak Tomi Sabang.
Beliau menyampaikan bahwa di sekolahnya yang siswanya sebagian besar berasal dari kampung dan tinggal di kos-kosan, keberadaan MBG sungguh menjadi berkat.
Selama 6 bulan pelayanan MBG di sekolahnya, tidak ada keluhan berarti tentang sajian makanan yang diberikan.
Baca juga: Opini: Cerita MBG dari Perbatasan Indonesia-Timor Leste
Makanannya selalu habis dikonsumsi dan tak pernah ada masalah keracunan atau sakit pada anak didiknya.
Yang mengharukan adalah ada sebagian anak didik yang bahkan menyisihkan sebagian lauknya untuk dibawa pulang sebagai bekal untuk makan malamnya.
Lauk yang disajikan siang itu tidak lantas dihabiskan tetapi dibagi dua potong untuk sebagiannya disimpan karena di rumah/kosnya tidak ada lagi pasokan lauk untuk menemani makan malamnya. MBG sungguh telah menjadi solusi bagi anak didik yang membutuhkan.
Sebuah Berkat
MBG dengan segala diskusi panjang tentangnya sebetulnya adalah berkat bagi anak didik kita.
Kisah yang diangkat di atas menjadi bukti empiris bahwa MBG yang diberikan kepada kelompok yang tepat akan sungguh disyukuri.
Data Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikdasmen (2025) menunjukkan bahwa ada 26.283.222 siswa yang masuk dalam kategori miskin dan karena itu ditandai sebagai layak diberikan Beasiswa PIP (Program Indonesia Pintar).
Itu berarti ada siswa sejumlah data di atas yang sungguh membutuhkan sentuhan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasarnya akan makanan yang bergizi.
Bila dikorelasikan dengan masalah stunting, pemberian MBG dapat juga menjadi salah satu solusi di antara semua bentuk intervensi lain yang telah diberikan.
Data prevalensi stunting nasional berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI 2024) menunjukkan angka 19,8 persen.
Walau angka ini menggembirakan karena terjadi penurunan dari tahun 2022 yang sebesar 21,6 persen, namun fakta bahwa masih banyak anak didik penderita stunting yang membutuhkan sentuhan langsung perbaikan gizi tak bisa diabaikan begitu saja.
| Opini: Memaknai Hari Raya Galungan di Era Kini |
|
|---|
| Opini: Suara dari Lasiana, Ketika Birokrasi Lupa Mendengar |
|
|---|
| Opini - Gotong Royong Tanpa APBN: Bukti Nyata Kasih Kristus dan Kemandirian Umat Merayakan Natal |
|
|---|
| Opini: Urgensi Redenominasi Rupiah Dalam Timbangan Etika Kemanfaatan |
|
|---|
| Opini: Harapan di Tengah Absurditas Politik |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Adi-Ngongo.jpg)