Breaking News

Opini

Opini - Tabolabale: Dulce Est Desipere in Loco

Sindiran  penuh satir ini menunjukkan bahwa masyarakat menuntut konsistensi dan ketegasan pemimpinnya.

|
Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JB KLEDEN
JB Kleden 

Tidak ada imajinasi untuk menjawab permasalahan. Yang ada hanyalah slogan yang manis diucapkan, merdu di telinga, indah dilayout dalam flayer tapi nir-makna. 

Dalam “Politik Ingatan” dan “Bohong Keroyok”, Goenawan Mohamad mengangkat bagaimana kekuasaan bisa menjadi tolol ketika ia memanipulasi sejarah atau membungkam kebenaran secara kolektif. 

Ia menyindir bahwa kekuasaan yang takut pada ingatan adalah kekuasaan yang tahu bahwa ia sedang berdiri di atas kebohongan

Contoh lain yang menonjol adalah tulisannya berjudul “Egokrasi” (1996), di mana ia mengkritik bagaimana kekuasaan sering kali dibangun atas ego, bukan akal sehat. 

Di situ, kebodohan bukan sekadar kurang pengetahuan, tapi ketidakmampuan untuk meragukan diri sendiri. “Ketika kekuasaan bicara panjang lebar, tapi tak sanggup mendengar, maka ia sedang berbicara kepada bayangannya sendiri.” 

***

Pada akhirnya dongeng tentang kepemimpinan adalah cerita tentang manusia yang bergerak mencari ruang baru, melintasi celah dan retakan, mengikis yang menghalangi untuk menemukan equilibrium. 

‘Tabolabale’, ‘bebalisme’ dan ‘menololkan’ diri adalah wajah kepemimpinan yang tak selalu muncul di ruang kuliah, juga tak banyak dibahas dalam text-book leadership, tapi hadir nyata dan paling sering bikin gundah. 

Bikin gundah karena pemimpin yang suka ‘tabolabale’ mendekati hipokrisi. Dan seorang hipokrisi seperti dikatakan Machiaveli dalam ‘Ii Pincipe’ selalu merasa tak perlu memiliki sifat-sifat baik, tetapi sangatlah perlu ia tampak baik. 

Memiliki sifat baik itu merusak, tetapi berlaku seakan-akan memiliki sifat baik itu berfaedah. Dibalik sifat ini ia sebenarnya seorang yang sangat ambisius: bukan saja hanya ingin tampak baik di hadapan semua orang, ia bahkan ingin meyakinkan dirinya sendiri. 

Untuk melawan pemimpin seperti ini perlu bersikap kritis. Maka jika kritik tak digubris dan sikap kritis dianggap pecundang, kita perlu kapak untuk memecahkan kemampatan itu. “… kalau ususmu belum bisa mencerna ususku/ kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu…” (Sutardji Calzoum Bachri).   

Maka di antara yang penting dan iseng, jika seorang pejabat ingin ‘tabolabale’, nasehat terbaik adalah:  Berlatihlah untuk bodoh di saat yang tepat.  

Bersikap ‘bodoh amat’ itu menggelikan, tapi menjadi ‘amat bodoh’ di waktu yang tepat, rasanya amat manis. Dulce est desipere in loco. Itu sesuatu yang fantastis, meski kita sering melupakannya. 

Karena memilih menjadi amat bodoh di saat yang tepat, orang sekaligus menyelamatkan hatinuraninya dan institusinya. 

Pada saat itu kita mengatakan betapa berbahagianya kita memiliki seorang bodoh yang bijaksana. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved