Opini
Opini: Ketika yang Terhormat Lupa Tuannya
Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi, kini terancam menjadi panggung sandiwara kekuasaan.
Eksekutif pun tak kalah sibuk dengan pencitraan dan pembangunan fisik yang megah, sementara fondasi sosial masyarakat—keadilan, kesejahteraan, dan pendidikan—dibiarkan rapuh. Semua ini menunjukkan bahwa demokrasi kita telah terfragmentasi: terbelah antara rakyat yang berdaulat dan elit yang berkuasa.
Lupa pada Tuannya
Para pejabat publik semestinya hadir sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa yang tak tersentuh. Namun dalam kenyataannya, mereka lebih sering tampil sebagai elit yang jauh dari denyut kehidupan masyarakat.
Mereka lupa bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan dengan tanggung jawab moral, bukan hak istimewa yang bisa dipertahankan dengan kekuasaan.
Mereka lupa bahwa rakyat bukan sekadar angka dalam statistik pembangunan, melainkan manusia yang memiliki harapan, kebutuhan, dan hak yang harus dihormati.
Tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang tewas dilindas mobil taktis Brimob saat demonstrasi, menjadi bukti paling menyakitkan bahwa negara telah gagal menjalankan fungsi dasarnya: melindungi warganya.
Ketika nyawa rakyat menjadi korban dari arogansi aparat dan kebijakan yang tak berpihak, maka jelas bahwa para pemegang kekuasaan telah kehilangan arah dan empati.
Ketika para pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru lupa pada siapa mereka bertanggung jawab, maka rakyat berhak untuk bersuara dan mengingatkan.
Aksi massa bukanlah ancaman bagi negara, melainkan alarm keras bagi demokrasi yang sedang kehilangan arah dan empati. Ia adalah bentuk kontrol sosial yang sah, wajar, dan perlu—agar kekuasaan tidak berubah menjadi tirani yang menindas.
Di tengah gelombang protes yang meluas, beberapa elit politik mulai angkat suara, menyampaikan permintaan maaf atas kebijakan dan tindakan yang telah menyulut kemarahan publik.
Namun, permintaan maaf tanpa perubahan nyata hanyalah retorika kosong. Rakyat tidak hanya menuntut kata-kata, tetapi tindakan konkret yang mengembalikan demokrasi kepada substansinya: keadilan, partisipasi, dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Kembali ke Demokrasi Substantif
Hakikat dari demokrasi substantif bukan sekadar prosedur elektoral, melainkan harus menjamin keterlibatan aktif rakyat dalam pengambilan keputusan, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak dasar.
Dalam Al-Madinah al-Fadhilah, Al-Farabi (872-950) menggambarkan negara ideal sebagai negara yang berbasis keadilan dan kebajikan, dipimpin oleh pemimpin bijaksana, berorientasi pada kebahagiaan kolektif (al-sa’adah al-‘ammah), memberikan ruang partisipasi bagi rakyat, namun dalam kerangka moral dan hukum Islam.
Dia mengkritik demokrasi yang hanya mengikuti kehendak mayoritas tanpa mempertimbangkan nilai etis.
Ia menekankan bahwa demokrasi yang ideal harus menjamin kesetaraan hak dan kewajiban, serta transparansi dan kesejahteraan rakyat.
Lebih lanjut, Ibn Rusyd (1126-1198) dalam Kitab al-Dharuri fi al-Siyasah, menekankan bahwa politik harus berlandaskan pada akal, keadilan, dan kemaslahatan umum.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.