Opini
Opini: Ketika yang Terhormat Lupa Tuannya
Demokrasi, yang seharusnya menjadi ruang partisipasi, kini terancam menjadi panggung sandiwara kekuasaan.
Baginya, akal dan agama harus bekerja sama dalam menegakkan keadilan dan kebijakan publik.
Demokrasi substantif menurut Ibn Rusyd adalah ketika rakyat bebas menyuarakan pendapat, dan pemimpin dipilih berdasarkan kualitas moral dan intelektual, bukan popularitas.
Demokrasi substantif tidak menegasikan pluralitas. Abdul Karim Soroush (lahir 1945), seorang filsuf Islam kontemporer dari Iran menegaskan, demokrasi dalam Islam harus berbasis pada pluralisme, kebebasan berpendapat, dan hak asasi manusia.
Ia menolak otoritarianisme atas nama agama dan mendorong interpretasi dinamis terhadap teks-teks suci.
Demokrasi substantif menurutnya adalah sistem yang menjamin partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan, serta menghormati keragaman dan keadilan sosial.
Melalui mata batin para filsuf besar itu, kita diajak menafsirkan denyut zaman sebagai gema hakikat demokrasi: rakyat bukan sekadar penonton, melainkan aktor utama yang berhak menggugat kekuasaan demi keadilan sosial dan keterbukaan pemerintahan.
Demonstrasi bukan sekadar kerumunan, melainkan suara nurani yang menuntut pemimpin beretika dan berpihak pada kemaslahatan umum.
Inilah demokrasi yang hidup—bukan sekadar prosedur, tetapi substansi yang berakar pada kesadaran kolektif dan tanggung jawab moral.
Sudah saatnya kita kembali pada demokrasi yang sejati—demokrasi yang berbasis pada kebutuhan rakyat, bukan kepentingan elit.
Kebijakan publik harus lahir dari dialog, bukan dari ruang rapat tertutup. Rakyat harus menjadi subjek, bukan objek.
Dan para pejabat publik harus kembali menyadari bahwa mereka hanyalah pelayan, bukan tuan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.