Breaking News

Opini

Opini: Tragedi 28 Agustus dan Tanggung Jawab Pemimpin

Tidak ada rasa empati dalam diri para elit politik. Hal ini bisa dilihat dari abesnnya mereka untuk menemui para demonstran.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI BALTHASAR ELU
Balthasar Elu 

Oleh: Balthasar Elu
Wiraswasta, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogjakarta

POS-KUPANG.COM - Peristiwa meninggalnya driver ojek online (ojol) Affan Kurniawan akibat ditabrak mobil rantis brimob polda Metro Jaya pada pengamanan aksi demonstrasi di Jakarta (28/08/2025), sebagai tamparan keras bagi para pemangku kekuasaan, baik di Kepolisian, pemerintahan, maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Peristiwa naas ini terjadi ketika almarhum ingin mengantarkan pesanan kepada konsumen yang memesan. Ia bukan peserta aksi demonstrasi. 

Ia terlindas mobil lapis baja yang dikemudikan polisi brigade mobil (brimob) yang melaju di tengah kerumunan aksi demonstran. Tragedi ini sangat memilukan. 

Kita semua pasti menyesalkannya. Mengapa harus terjadi korban jiwa dari seorang ojol yang sedang berjuang mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. 

Adapun aksi demontrasi ini jika dirunut ke belakang, sebenarnya akumulasi dari berbagai dinamika yang terjadi sejak tahapan pemilu 2024 dimulai. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden yang diambil di akhir menjelang penutupan pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres) untuk Pemilu 2024, yang dinilai menabrak konstitusi untuk mengamankan dan melanggengkan kekuasaan sudah membekas di hati masyarakat. 

Hal ini diperkuat dengan sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK-MK) dan memberikan sanksi etik kepada ketua MK, Anwar Usman, yang merupakan paman dari salah satu calon Wakil Presiden 2024-2029, jelas membuktikan bahwa ada konstitusi yang ditabrak penguasa.

Pascapelantikan hasil pemilu 2024 silam, beberapa program pemerintah dinilai masyarakat tidak efektif, hanya menguras banyak anggaran APBN. 

Namun, pemerintah selalu berdalih untuk kesejehateraan masyarakat. Ditambah pola perilaku dan reaksi dari elit politik dalam menyikapi keluhan masyarakat di tengah kesulitan ekonomi yang sedang menghimpit mereka. 

Berbagai kasus keracunan anak-anak sekolah akibat makan bergizi gratis (MBG) masih terjadi di berbagai daerah hingga saat ini. 

Penanganan kasus pelanggaran hukum yang kesannya tebang pilih, seperti yang dialami Thomas Trikasih (Tom) Lembong mengenai kebijakan impor gula saat ia menjabat Menteri Perdagangan beberapa tahun silam, hingga akhirnya diberi abolisi oleh Presiden Prabowo Subiyanto. 

Kebijakan lainnya, tindakan pemblokiran rekening bank dari masyarakat (nasabah) yang pasif (dormant) selama tiga (3) bulan berturut-turut oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Juli 2025 yang buat heboh masyarakat dengan alasan ada indikasi penyalahgunaan rekening pasif untuk tindakan kejahatan seperti judi online (judol) dan transaksi narkotika. 

Saat bersamaan, viral di medsos, tanah masyarakat yang tidak dimanfaatakan, alias nganggur selama dua (2) tahun akan disita negara, meskipun beberapa pekan kemudian diralat sendiri oleh Menteri yang mengeluarkan pernyataan tersebut. 

Pada saat yang bersamaan, muncul berita bahwa penerimaan pajak akan dioptimalkan Kementrian Keuangan dengan melibatkan berbagai pihak penegak hukum. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved