Opini

Opini: Bahaya Favoritisme dalam Pendidikan Keluarga

Dalam jangka panjang, mereka bisa mengalami kesulitan menghadapi kegagalan karena terbiasa mendapat perlakuan istimewa.

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Heryon Bernard Mbuik 

Guru, konselor, dan orang tua seharusnya melihat setiap anak sebagai individu unik dengan kekuatan masing-masing, bukan membandingkan satu sama lain.

Dari perspektif teologis, praktik favoritisme tidak hanya dipandang sebagai ketidakadilan sosial, tetapi juga sebagai bentuk penyimpangan dari prinsip kasih yang diajarkan dalam Kitab Suci. 

Alkitab memberikan banyak narasi yang mengilustrasikan dampak destruktif favoritisme. 

Salah satu contoh paling jelas terdapat dalam kisah Yakub dan Yusuf (Kejadian 37), di mana kasih istimewa Yakub terhadap Yusuf memicu kecemburuan mendalam di antara saudara-saudaranya. 

Kecemburuan itu kemudian berkembang menjadi konflik serius, yang berujung pada pengkhianatan, penderitaan, bahkan hampir berujung pada kematian Yusuf (dibuang ke dalam sumur).

Kisah ini mengajarkan bahwa favoritisme bukan sekadar persoalan emosi sesaat, tetapi dapat menanamkan benih perpecahan dan permusuhan dalam keluarga. 

Dalam konteks teologis, perilaku ini bertentangan dengan prinsip kasih yang setara (unconditional love) yang diajarkan Allah kepada manusia. 

Firman Tuhan mengingatkan bahwa kasih sejati “tidak membeda-bedakan” (Yakobus 2:1-4), dan setiap anak dipandang sama berharganya di mata Tuhan (Mazmur 139:13-16).

Lebih jauh, favoritisme juga bertentangan dengan konsep perwalian ilahi dalam keluarga. 

Orang tua dipercayakan untuk mendidik dan mengasuh anak-anak sebagai warisan Allah (Mazmur 127:3). 

Dengan demikian, mengutamakan satu anak di atas yang lain berarti mengabaikan tanggung jawab spiritual untuk mengasihi dan membimbing setiap anak sesuai rencana dan potensi unik yang diberikan Tuhan.

Prinsip kasih yang setara menjadi kunci membangun harmoni keluarga yang kokoh. 

Ketika kasih dan perhatian dibagikan secara adil, anak-anak akan bertumbuh dengan rasa aman, harga diri yang sehat, serta kemampuan menjalin relasi yang penuh empati. 

Sebaliknya, praktik favoritisme merusak tatanan kasih yang ilahi, menciptakan ketidakseimbangan emosional yang berpotensi menular hingga generasi berikutnya.

Strategi Menghindari Favoritisme

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved