Opini
Opini: Solusi Inovatif untuk Krisis Iklim dan Sampah Plastik
Indonesia, sebuah gugusan zamrud khatulistiwa yang kaya raya, kini berdiri di persimpangan jalan yang genting.
Oleh: Inosensius Enryco Mokos
Dosen Ilmu Komunikasi ISBI Bandung, Jawa Barat
POS-KUPANG.COM - Di tengah gemuruh pembangunan dan laju konsumsi yang tak terbendung, sebuah pertanyaan fundamental muncul dan mendesak kita untuk merenung.
Mampukah Indonesia keluar dari cengkeraman krisis iklim dan gunungan sampah plastik yang mengancam keberlangsungan hidup kita, ataukah kita akan terus terperangkap dalam ilusi kemajuan yang semu?
Indonesia, sebuah gugusan zamrud khatulistiwa yang kaya raya, kini berdiri di persimpangan jalan yang genting.
Kita bukan lagi bicara tentang ancaman iklim dan sampah plastik sebagai fenomena global yang jauh, melainkan sebagai realitas brutal yang menggerogoti setiap jengkal negeri ini.
Musim kemarau yang tak berkesudahan melahirkan kebakaran hutan yang menelan jutaan hektar paru-paru dunia, menjeratkan kabut asap yang mematikan bagi jutaan jiwa.
Di sisi lain, banjir rob semakin akrab menyapa pesisir, menggeser batas daratan dan lautan, bahkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 dengan gamblang menyebut 52 persen wilayah pesisir kita telah terdampak.
Ironi terbesar mungkin terletak pada gagal panen yang menghantui lumbung pangan kita, di negara agraris yang seharusnya jaya.
Bersamaan dengan itu, Indonesia terpasung dalam predikat memilukan: penyumbang sampah laut terbesar kedua di dunia, dengan 8 juta ton plastik mengotori lautan kita setiap tahun, dan yang lebih menyayat hati, hanya 11 persen dari timbunan itu yang berhasil didaur ulang.
Ini bukan sekadar data, ini adalah nisan bagi kegagalan kita dalam menjaga amanah bumi.
Di sinilah, transformasi hijau bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah imperatif strategis yang tak bisa ditawar, demi keberlangsungan eksistensi bangsa.
Badai Krisis yang Menggerogoti Nusantara
Dampak krisis iklim di Indonesia telah lama melampaui batas simulasi teoritis. Ia menjelma menjadi manifestasi fisik dari kegagalan tata kelola dan absennya kesadaran kolektif.
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tak lagi sekadar peristiwa tahunan, melainkan siklus destruktif yang merenggut ekosistem, mengancam kesehatan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kita menyaksikan bagaimana banjir dan tanah longsor, buah dari intensitas curah hujan yang tak terkendali, melumpuhkan infrastruktur dan menelan korban jiwa.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.