Cerpen
Cerpen: Rumah Doa yang Tak Pernah Tutup
Dan yang paling penting, lorong ini membuktikan bahwa doa adalah bahasa yang dipahami semua orang. Tanpa memandang agama, suku, atau status.
Oleh: Rismayani Achmad *
POS-KUPANG.COM - Pukul tiga pagi. Lorong rumah sakit seperti pembuluh darah yang berhenti berdetak. Hening. Tapi tidak sunyi.
Lorong ini penuh doa-doa yang mengalir seperti udara, tak terlihat tapi selalu ada.
Pengharapan menggantung di setiap sudut, menempel di dinding putih, bercampur dengan aroma antiseptik.
"Tuhan, kalau memang harus pilih, ambil saya saja."
Suara dari kamar 203. Ibu muda itu sudah tiga hari tidak pulang. Anaknya demam berdarah. Trombosit turun terus.
Pak Sarno mengepel lantai sambil mendengar bisikan itu. Sudah dua puluh tahun dia menyaksikan doa-doa tulus di lorong ini. Lorong yang tidak pernah sepi dari harapan.
Dari bibir yang bergerak tanpa suara, dari mata yang berkaca-kaca menatap langit-langit, dari tangan yang terlipat erat memohon keajaiban.
Di ruang jaga, Dokter Ratna menggenggam stetoskop sambil memejamkan mata. Baru kehilangan pasien. Anak tujuh tahun. Leukemia.
"Ya Allah, berikan aku kekuatan menghadapi keluarganya," bisiknya. "Ampuni aku kalau kurang maksimal."
Security malam, Mas Bambang, duduk di pojok sambil baca Yasin. Istrinya kanker payudara stadium tiga. Dia lembur untuk biaya pengobatan.
"Ya Rahman, sembuhkan istriku. Aku rela kerja sampai tua asal dia sehat."
Di pojok lain, Pak Darmawan, security shift berbeda, sedang berdoa dengan cara lain. Tangannya terlipat, mata terpejam, bibir bergerak pelan.
"Tuhan Yesus, Engkau yang menyembuhkan orang sakit, ulurkan tangan-Mu pada istriku. Beri kami kekuatan menghadapi cobaan ini."
Suster Eni keluar dari kamar 205. Pasien stroke seminggu koma. Keluarga sudah menyerah. Dia belum.
"Pak Harto, anak-anak bapak butuh bapak," bisiknya sambil pegang tangan pasien. "Tuhan, kembalikan beliau."
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.