Cerpen
Cerpen: Rumah Doa yang Tak Pernah Tutup
Dan yang paling penting, lorong ini membuktikan bahwa doa adalah bahasa yang dipahami semua orang. Tanpa memandang agama, suku, atau status.
"Makanya saya yakin, Dok. Lorong ini rumah doa yang paling ramai. Tuhan paling dekat sama tempat ini."
"Kenapa?"
"Karena di sini semua orang jujur. Doanya tulus semua."
Dari kamar 203 terdengar bisikan lagi. Lebih pelan.
"Ya Allah, kalau dia sembuh, saya janji jadi ibu yang lebih baik."
"Doa ibu paling mustajab," kata Suster Eni.
"Semua doa di sini mustajab, Sus. Soalnya tulus."
Pukul empat pagi. Shift malam hampir selesai. Tapi rumah doa ini tidak pernah tutup. Doa tidak mengenal jam kerja. Harapan tidak ada cuti.
Mas Bambang tutup Yasin, Pak Darmawan amin-kan doanya, Bu Linda simpan tasbih Buddha, Pak Joseph matikan lilin kecilnya. Tapi semua masih berdoa dalam hati untuk orang yang mereka sayangi.
Lorong yang sama akan dipenuhi doa-doa baru esok malam. Keluarga pasien baru, petugas shift baru, dengan keyakinan yang mungkin berbeda, tapi doa yang sama. Pengharapan yang sama. Cinta yang sama.
Mas Bambang tutup Yasin, masih berdoa untuk istri. Bu Yati selesai bersihkan kamar, masih doakan arwah yang berpulang. Dokter Ratna ganti baju, masih berdoa untuk pasien. Suster Eni check pasien terakhir, sambil berdoa pasien koma segera sadar.
Subuh mulai terbit. Cahaya pertama masuk lewat jendela. Yang malam pulang, yang pagi datang.
Tapi ada yang tidak berganti. Doa, harapan dan cinta.
"Pak Sarno!"
Ibu muda dari kamar 203 keluar. Mata berkaca-kaca. Tapi bukan sedih. "Anaknya sudah sadar! Trombositnya naik!"
Semua di lorong tersenyum. Seperti keluarga.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.