Opini
Opini: Dilema di Balik Konflik Lahan Nangahale Sikka
Klaim mencari pembenaran tentu saja wajar di tengah arus informasi yang tidak bisa terkontrol. Tetapi bagaimana sebaiknya memahami konflik ini?
Kedua, penyerobotan lahan milik PT KRISRAMA oleh masyarakat untuk jangka waktu agaka lama menandakan bahwa selama itu pula tanah tidak dikelola sesuai peruntukkannya.
Hal ini menjadi catatan kritis bahwa perkebunan Nangahale untuk satu periode yang lama, terkesan tertinggal. Hal itu berbeda ketika masih di bawah pengawasan para bruder SVD yang memiliki dedikasi.
Sayangnya perhatian yang menjadi contoh itu hanya terjadi di Perkebunan Pati Ahu miliki SVD yang terawat sementara hal itu masih sangat jauh dari Nangahale.
Ini menjadi catatan sekaligus kritik tentang efisiensi penggunaan lahan. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di Nangahale tetapi di banyak tempat.
Keuskupan mengklain sesuai sejarah sebagai ‘pemilik’, tetapi tidak terlihat konsistensi dalam penggunaan lahan. Perkebunan Hokeng bisa diambil menjadi contoh lain.
Ketiga. pengosongan lahan seperti yang dilakukan pada 22 Januari 2025 dengan menggunakan alat berat logikanya dilakukan oleh aparat hukum sebagai perintah pengadilan.
Hal itu mengandaikan adanya proses hukum resmi yang sudah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melewati langkah-langkah hukum.
Bila proses itu telah dilalui maka perintah pengosongan merupakan amanat yang mesti dilalui. Di sini gereja tampil elok.
Bukan ‘ia’ yang berada di depan atau bersama kerumuman menyerunduk rumah warga tetapi ia ‘duduk manis’ sementara aparat hukum yang melakukannya setelah semua pertimbangan dilalui.
Atas dasar pemahaman ini, maka pengosongan atas klaim menjadi pemilik sah merupakan tindakan yang tidak bisa diterima secara hukum.
Bahkan okupasi lahan yang berakibat pada molornya upaya pemanfaatan tanah bisa diproses secara hukum sehingga jangka waktu HGU itu bisa diperpanjang sesuai pertimbangan yang terjadi.
Karena itu klaim pihak PT KRISRAMA memberikan pembenaran diri sebagai ‘eksekutor’ adalah sebuah kekeliruan.
Mestinya keuskupan menjaga ‘image’ dengan berada di balik proses hukum dan bukan menjadi eksekutor pengosongan hal mana terjadi dan patut disayangkan.
Yang terakhir, kasus Nangahale sebenarnya hanya menunjukkan bahwa persoalan itu tidak ada di luar gereja tetapi ada di dalam gereja itu sendiri.
Singkatnya yang memerintah untuk mengosongkan adalah gereja (sebagai institusi), dan yang menderita juga anggota gereja itu sendiri. Di sinilah dilema.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.