Breaking News

Opini

Opini: Dilema di Balik Konflik Lahan Nangahale Sikka

Klaim mencari pembenaran tentu saja wajar di tengah arus informasi yang tidak bisa terkontrol. Tetapi bagaimana sebaiknya memahami konflik ini? 

Editor: Dion DB Putra
KOMPASIANA.COM
Robert Bala 

Klaim bahwa tanah itu diduduki Belanda Belanda yang didukung oleh Nairoa  Raja Kangae  dari masyarakat adat setempat (Soge Natarmage dan Goban Runut) bisa menjadi salah satu tafsiran yang dipertimbangkan. 

Dalam perspektif ini dan dalam semangat UU No No. 5 thn 1960, dan kemudian KEPPRES No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan dalam rangka pemberian hak-hak baru atas tanah asal Konversi hak-hak Barat maka ruang klaim ini terbuka. 

Proses hukum untuk memvalidasi klaim tentu bisa dilaksanakan, dengan catatan semuanya harus sesuai koridor hukum. 

Itu berarti penyelesaian tanah konflik atas tanah 325 h tentu saja melewati prosedur yang tidak mudah hal mana membutuhkan kesabaran dalam berdialog. 

Sementara itu klaim atas dasar parsial tentu akan semakin menjauhkan dialog dan membuka konflik yang tentu saja tidak kita inginkan. 

Mencari Titik Temu 

Bagaimana bisa menyikapi konflik ini agar tidak menjadi berkepanjangan? Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab. 

Tindakan pengosongan lahan dengan  menggunakan ‘cara-cara kekerasan yang dianggap lazim digunakan oleh pemerintah dengan korban rakyat sederhana, (sayangnya) dianggap biasa. Saat seperti itu masyarakat dikorbankan. 

Beruntung, gereja selalu berdiri di kaum yang menderita. Tetapi dalam kasus Nangahale, hal itu menjadi bak benang kusut yang semakin kusam. Lalu bagaimana mencari titk temunya? 

Pertama, pengalihan Hak Guna Usaha yang sudah memiliki ‘sejarah’ dan telah berada di bawah sebuah entitas resmi hanya bisa diklaim dari entitas resmi. 

Dalam arti ini, apa yang dilakukan PT DIAG ( Keuskupan Agung Ende) yang kemudian menjadi PT KRISRAMA (setelah Keuskupan Maumere berpisah dari KAE), merupakan hal yang tepat untuk mengelola tanah selama 25 tahun berikutnya. 

Pada sisi lain, kepemilikan gereja tidak bisa serta merta dianggap sebagai milik penjajah karena terbukti, pascakemerdekaan, gereja masih ada, malah makin berkiprah terutama di Flores. 

Dalam perspektif ini, klaim warga atas nama pribadi tidak akan memiliki kekuatan yang cukup. 

Meski demikian pihak gereja misalnya perlu mengapresiasi itikad baik untuk mengadvokasi masyarakat dan tidak terjerumus untuk mengategorikan mereka sebagai aktor intelektual. 

Sangat disayangkan bahwa dalam mengurai persoalan, kerap gereja (Keuskupan Maumere) kurang sabar dan bijak mengeluarkan pernyataan yang tidak membantu pencerahan malah sebaliknya. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved