Opini
Opini: Menag Nasaruddin, Deklarasi Istiqlal dan Masa Depan Dialog Inter-Religius
Menghadapi gejolak tersebut, eksistensi dan ekspresi agama-agama hendaknya diarahkan dalam usaha-usaha edukatif nan advokatif mengatasi persoalan itu.
Semangat ini semakin menunjukkan kemungkinan positif bahwa doktrin komprehensif agama-agama dan ideologi kebangsaan dapat berjalan berdampingan dalam mewujudkan pembangunan dan kemaslahatan bersama atau sebagaimana dirumuskan Habermas (terj. Cronin, 2008) sebagai ranah masyarakat pasca-sekular di mana teologi agama-agama tetap relevan dan dapat berjalan berdampingan dengan ideologi sekuler.
Ketiga, satu keluarga umat manusia dan hormat terhadap martabat kemanusiaan. Sungguh menarik bahwa seruan dalam Deklarasi Bersama Istiqlal menghembuskan, apa yang disebut Hans Kung sebagai globale ethische (etik global) yang perlu dimaknai setiap agama.
Setiap agama secara kolekgial perlu membangun dialog dan kerja sama dalam memerankan spirit pembebasan konkrit di tengah masyarakat yang ditandai penindasan dan ketidakadilan.
Bertepatan dengan hari deklarasi, dalam isi pidatonya Paus Fransiskus dengan nada poetik mengangkat makna luhur dialogalitas di balik salah satu fragmen ikonik terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta.
“Haruslah disebut bahwa terowongan bawah tanah terowongan persahabatan memungkinkan perjumpaan, dialog, dan kemungkinan nyata untuk menemukan dan membagikan mistik hidup bersama, berbaur dan bertemu.” (LOsservatore Romano, 2024, h. 7).
Ungkapan Paus Fransiskus menampilkan optimisme bagi dialog inter-religius di Indonesia.
Pertama, Dialogalitas sebagai Keniscayaan. Dialog inter-religius tidak dapat dipisahkan dari konteks keberagaman dan dinamika sosio-politik yang merupakan ranah relasi sehari-hari antar-umat pemeluk agama di Indonesia.
Tidak dapat disangsikan bahwa ciri kemajemukan masyarakat serta panorama konflik identitas (berkedok agama) yang acapkali terjadi merupakan premis fundamental bagi relevansi dialog inter-religius di Indonesia.
Dialog inter-religius bahkan tidak sebatas proyek artifisial alternatif semata, tetapi sebuah keniscayaan dan dorongan imperatif dari dalam diri agama-agama di Indonesia.
Kedua, Dialog dan Signifikansi Sosial sebagai Panggilan setiap Agama. Deklarasi Bersama Istiqlal juga mengedepankan salah satu matra terpenting agama-agama di era modern yaitu religiusitas yang memiliki signifikansi sosial.
Di Indonesia, konteks nilai yang kedua ini menjadi penting tatkala religiusitas masyarakatnya mengandung contradictio in terminis karena masih menyimpan beban-beban banalitas yang tak kecil seperti intoleransi, ekstrimisme dan kekerasan atas nama agama, klaim kebenaran tunggal, dsb.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu santer diberitakan seorang Aparatur Sipil Negara yang membubarkan ibadah Umat Kristen di Gresik, Jawa Timur. Deklarasi Bersama Istiqlal mendorong agama-agama agar dalam suatu kolegialitas memerankan mythopoetic pembebasan melalui karya-karya sosial emansipatif (Koli, 2022).
Justru, dalam pemaknaan yang lebih radikal, keadilan sosial dan solidaritas perlu menjadi pelagus significatione theologicus (makna utama teologi).
Peran Strategis Kementerian Agama
Salah satu tantangan aplikasi dialog inter-religius yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga dalam ranah global adalah formalisme dialogalitas.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.