Opini
Opini: Menag Nasaruddin, Deklarasi Istiqlal dan Masa Depan Dialog Inter-Religius
Menghadapi gejolak tersebut, eksistensi dan ekspresi agama-agama hendaknya diarahkan dalam usaha-usaha edukatif nan advokatif mengatasi persoalan itu.
Seringkali dialog inter-religius hanya dimaknai sebagai perjumpaan formal antar-pemimpin, seperti audiensi atau silaturahmi.
Padahal dialog inter-religius harus melampaui formalisme dan sampai pada taraf dialog kehidupan serta menjiwai relasi sehari-hari manusia Indonesia. Seringkali terjadi, seruan moral dan deklarasi kerukunan dibonsai praktik-praktik intoleran di tengah masyarakat.
Beberapa tantangan inilah yang perlu menjadi salah satu pergumulan Kementerian Agama di era kepemimpinan Menag Nassarudin. Dalam arahannya pada acara Kick Off Meeting Strategi dan Arah Kebijakan Kemenag 2025-2029, Menag mengingatkan bahwa Kementerian Agama berperan penting untuk menjaga stabilitas dan agama menjadi faktor kunci dalam mensolidkan bangsa.
Lantas, apa saja peran strategis Kementerian Agama dalam mewujudkan dialog inter-religius di Indonesia?
Pertama, Penguatan Moderasi Beragama. Apabila merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kemenag tahun 2020 – 2024, terdapat sebuah resolusi nasional yang digaungkan yaitu penguatan moderasi beragama.
Dalam Buku Saku Moderasi Beragama yang disusun Balitbang dan Diklat Kemenag RI (2019), moderasi beragama bukanlah sebuah ideologi tetapi lebih sebagai perspektif atau cara pandang terkait proses memahami dan mengamalkan agama agar senantiasa berada dalam jalur yang moderat. Jadi yang dimoderasi adalah cara beragama, bukan agamanya.
Implementasi moderasi beragama hendaknya tetap menjadi branding sekaligus program prioritas Kementerian Agama dalam mewujudkan dirinya sebagai katalisator pembangunan nasional.
Aksentuasi program Moderasi Beragama hendaknya senantiasa dikampanyekan dan terlebih penting diaplikasikan secara strategis: semisal internalisasi muatan Moderasi Beragama dalam kurikulum pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah (tentu tetap disesuaikan dengan jenjang dan konteks pembelajaran), pengajaran dan penyiaran agama-agama, optimalisasi program Kampung Moderasi Beragama dan sebagainya.
Kedua, Perwujudan Dialog Kehidupan. Untuk konteks Indonesia, aksentuasi pada dialog kehidupan sesungguhnya bukanlah hal yang asing. Pertama-tama, masyarakat Indonesia memiliki falsafah dan ideologi bersama bernama Pancasila.
Selain itu, nilai-nilai sosio-budaya seperti persaudaraan, gotong-royong, dan kekerabatan adalah warisan sejarah dan tertanam dalam setiap kebudayaan bangsa Indonesia.
Konstruksi nilai-nilai tersebut hendaknya menjadi inspirasi bagi Kementerian Agama dalam membangun kreasi terhadap perbedaan.
Program-program Kemenag yang terarah pada stabilitas nasional dengan bahasa agama hendaknya sampai pada wujud toleransi otentik, bukan toleransi izinan atau toleransi hibah.
Panorama kehidupan antar-umat beragama hendaknya dibangun di atas pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan. Tidak cukup apabila penganut agama hanya bereksistensi demi dirinya sendiri (inward looking), tetapi sampai pada taraf di mana umat dan komunitas beragama bisa menerima, mengakui dan menghadirkan kebaikan bagi penganut agama lain.
Cita-cita ini dapat tercapai apabila toleransi menjadi -apa yang disebut Renan (terj. Giglioli, 2018) sebagai Plebisit Sehari-Hari-, perjuangan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Akhirulkalam, tugas dan upaya tindak-lanjut mewujudkan dialog inter-religius di Indonesia perlu senantiasa diperjuangkan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.