Opini
Opini: Fenomena Calon Tunggal dan Hilangnya Kompetisi Sehat dalam Pilkada
Pada Pilkada Serentak 2024, tercatat 35 daerah dengan calon tunggal, yang akan bertarung melawan kotak kosong.
Kehadiran calon tunggal dalam pilkada juga berisiko memperkuat dominasi kartel politik.
Winters, dalam bukunya yang berjudul, Oligarchy, menjelaskan bahwa kartel politik yang didominasi oleh segelintir elit cenderung memonopoli kekuasaan tanpa ada tantangan berarti dari lawan-lawan yang kompeten (Winters, 2011: 27--28).
Hal ini menciptakan ruang bagi politik transaksional, di mana perjanjian antarelit lebih penting daripada kebutuhan rakyat.
Dalam situasi seperti ini, rakyat kehilangan pilihan nyata, yang pada gilirannya bisa meningkatkan angka golput (golongan putih) atau masyarakat yang memutuskan untuk tidak menggunakan hak pilihnya sebagai bentuk protes.
Tingginya angka golput juga bukan sekadar statistik, melainkan gejala dari masalah yang lebih mendalam. Golput, dalam konteks ini, merupakan bentuk ketidakpercayaan publik terhadap sistem politik yang ada.
Fenomena ini harus dilihat sebagai peringatan bahwa jika demokrasi tidak segera diperbaiki, maka partisipasi politik bisa semakin menurun, yang pada akhirnya merusak legitimasi demokrasi itu sendiri.
Mengembalikan Kompetisi dan Peran Parpol
Pertama, penguatan regulasi pilkada. Peraturan terkait pilkada harus direvisi untuk mencegah munculnya calon tunggal.
Salah satu opsinya adalah menaikkan ambang batas pencalonan atau memberikan insentif bagi partai-partai yang mencalonkan lebih dari satu pasangan calon. Dengan demikian, peluang munculnya calon tunggal dapat ditekan.
Kedua, reformasi partai politik. Parpol harus diperkuat dalam hal internal governance dan kaderisasi. Tanpa regenerasi yang baik, parpol akan terus mengalami kesulitan dalam menciptakan calon pemimpin yang kompeten.
Menurut Thomas Carothers dalam karyanya Confronting the Weakness of Political Parties, parpol yang lemah tidak hanya gagal dalam menciptakan pemimpin, tetapi juga gagal menjadi instrumen efektif untuk pendidikan politik (Carothers, 2006: 56).
Ketiga, pendidikan politik publik. Rakyat harus lebih dilibatkan dalam proses politik. Pendidikan politik yang berkelanjutan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai pentingnya pilihan dalam pemilu.
Dengan pendidikan yang baik, rakyat akan lebih kritis dalam memilih pemimpin dan tidak sekadar menjadi objek manipulasi politik.
Keempat, desentralisasi partisipasi politik. Salah satu masalah besar dalam pilkada adalah dominasi parpol di tingkat pusat yang sering kali tidak peka terhadap kondisi lokal.
Partai harus lebih mendekatkan diri pada konstituen di daerah dan memberikan ruang bagi pemimpin lokal yang memiliki rekam jejak baik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.