Opini
Opini: Seruan Perdamaian dan Makna Semboyan Kunjungan Paus Fransiskus
Lawatan apostolik Paus Fransiskus terbingkai dalam suatu semboyan: iman (la fede), persaudaraan (la fraternita), dan bela rasa (la compassion).
Kedua, seruan perdamaian Paus Fransiskus. Dunia mengenal Paus Fransiskus sebagai pionir dalam menyerukan dan memperjuangkan perdamaian. Selama masa kepemimpinannya, ia telah menjadikan perdamaian sebagai salah satu agenda penting dalam setiap kunjungan apostoliknya.
Kunjungan monumentalnya ke Uni Emirat Arab pada tanggal 3 hingga 5 Februari 2019 yang menghasilkan dokumen “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” dan menetapkan tanggal 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Internasional merupakan kulminasi perjuangannya dalam menegakkan perdamaian dunia serentak titik pijak bagi perjuangan yang akan selalu dijaga keberlanjutannya oleh Gereja.
Selama kunjungan ke Indonesia, Paus kembali menyerukan hal yang sama. Dalam Deklarasi Istiqlal misalnya, Paus dan para pemimpin agama di Indonesia sepakat bahwa perdamaian merupakan penawar utama fenomena krisis kemanusiaan (dehumanisasi) global yang ditandai dengan merebaknya kekerasan dan konflik; dan dialog antaragama menjadi sarana penunjangnya.
Maka, berhadapan dengan aneka konflik sosial dalam realitas keberagaman Indonesia, seruan perdamaian Paus Fransiskus menjadi jawaban mutlak yang patut disambut.
Seruan ini serentak menjadi kompas di tengah kebimbangan dan pesimisme yang menghambat bertumbuhnya iklim hidup berbangsa yang solid, toleran, dan harmonis.
Makna dan Relevansi Semboyan Kunjungan
Pada hakikatnya, kata iman, persaudaraan, dan bela rasa bukan semata-mata bahasa religius agama tertentu. Maka semboyan kunjungan Paus tersebut tidak terkooptasi dalam scope Gereja saja.
Dan bila ditarik suatu benang merah, maka ketiga konsep tersebut dapat membentuk suatu ungkapan teologis yang relevan bagi segenap umat beragama di Indonesia, bahwasannya iman sebagai jawaban atas tawaran kasih Allah menyatukan semua umat beragama dalam semangat persaudaraan dan mendorong mereka untuk berbela rasa terhadap sesama yang menderita.
Dengan kata lain, iman adalah titik berangkat sebuah persaudaraan universal—persaudaraan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat identitas; dan iman itu harus berbuah bagi keutuhan semesta dan kesejahteraan sesama, khususnya mereka yang dibelenggu kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan aneka pengalaman periferil lainnya.
Sekali lagi, panggilan untuk mewujudkan iman dalam persaudaraan yang berujung pada kemampuan untuk turut merasakan dan menjawabi penderitaan yang lain adalah seruan universal, berlaku bagi siapa saja, apapun agamanya.
Maka, manusia Indonesia yang kita harapkan pasca-kunjungan Paus Fransiskus adalah manusia yang mampu menjunjung persatuan dan perdamaian meskipun hidup dalam perbedaan; dan agama yang kita harapkan ialah agama yang terbuka pada realitas penderitaan di sekitarnya dan aktif membangun dialog satu sama lain dalam menjawabi aneka pergulatan yang dihadapi oleh umat manusia dan alam semesta.
Dengan demikian agama mampu menampakkan dimensi transformatif sebagai buah dari imannya kepada Allah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.