Opini
Opini: Seruan Perdamaian dan Makna Semboyan Kunjungan Paus Fransiskus
Lawatan apostolik Paus Fransiskus terbingkai dalam suatu semboyan: iman (la fede), persaudaraan (la fraternita), dan bela rasa (la compassion).
Oleh: Petrus Nandi, CMF
Tinggal di Seminari Hati Maria, Kupang
POS-KUPANG.COM - Kunjungan Paus Fransiskus pada tanggal 3 hingga 6 September 2024 merupakan sebuah peristiwa bersejarah bagi Indonesia pada umumnya dan Gereja Katolik Indonesia pada khususnya.
Pasalnya, sejak diangkat menjadi Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma pada 13 Maret 2013 silam, Paus Fransiskus baru melakukan kunjungan apostolik di bumi nusantara.
Lawatan apostolik Paus Fransiskus kali ini terbingkai dalam suatu semboyan: iman (la fede), persaudaraan (la fraternita), dan bela rasa (la compassione).
Ketiga term kunci dalam semboyan tersebut menjadi gagasan-gagasan penyangga dari bahasa perdamaian yang disuarakan oleh Paus Fransiskus dalam perjumpaannya dengan Presiden Indonesia Joko Widodo di Istana negara pada tanggal 4 September lalu.
Tulisan ini berpretensi mengais posisi seruan perdamaian Paus Fransiskus dalam ruang keberagaman di Indonesia yang masih dirongrong beragam konflik serta menemukan implikasi semboyan kunjungan Paus bagi agama-agama.
Pluriformitas Indonesia dalam Bentangan Konflik dan Seruan Perdamaian
Hemat saya, ada dua fakta penting yang sekiranya patut direfleksikan dalam momentum kunjungan Paus Fransiskus hari-hari ini.
Pertama, realitas keberagaman di Indonesia dan agenda penyatuan bangsa yang belum selesai. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang berciri plural.
Data yang dihimpun dari BPS dan Kemendikbud Ristek dalam kurun tiga tahun terakhir menunjukkan ada 17.001 pulau, 1.300 suku bangsa, dan 718 bahasa daerah yang tersebar di seantero Indonesia.
Juga terdapat enam agama besar, tidak terhitung agama-agama tradisional dan sistem kepercayaan lainnya. Semua unsur perbedaan itu disatukan dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
Paus Fransiskus, dalam pidatonya di hadapan Presiden Republik Indonesia, mengakui realitas keberagaman dan mengapresiasi semboyan kebangsaan tersebut sebagai kekuatan yang menyatukan (Presidenri.go.id, diakses pada 5 September 2024).
Sebagaimana Paus, kita optimis bahwa dalam bingkai persatuan, aneka wujud keberagaman itu dapat menunjang keharmonisan bangsa. Namun, sejarah membuktikan bahwa laku sosial masyarakat Indonesia tidak selamanya sejalan dengan idealisme bangsa.
Cita-cita terciptanya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang termaktub dalam alinea keempat UUD 1945 kandas lantaran munculnya fragmen-fragmen konflik berbasis identitas.
Merebaknya gejala fundamentalisme, separatisme, dan intoleransi turut memperpanjang masa penantian akan tercapainya cita-cita luhur perdamaian bangsa.
Jadi, dalam praktiknya, cita-cita persatuan dan keharmonisan di Indonesia masih berada dalam tegangan antara kekuatan-kekuatan yang mendukung dan kekuatan-kekuatan yang menentangnya.
Kedua, seruan perdamaian Paus Fransiskus. Dunia mengenal Paus Fransiskus sebagai pionir dalam menyerukan dan memperjuangkan perdamaian. Selama masa kepemimpinannya, ia telah menjadikan perdamaian sebagai salah satu agenda penting dalam setiap kunjungan apostoliknya.
Kunjungan monumentalnya ke Uni Emirat Arab pada tanggal 3 hingga 5 Februari 2019 yang menghasilkan dokumen “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” dan menetapkan tanggal 4 Februari sebagai Hari Persaudaraan Manusia Internasional merupakan kulminasi perjuangannya dalam menegakkan perdamaian dunia serentak titik pijak bagi perjuangan yang akan selalu dijaga keberlanjutannya oleh Gereja.
Selama kunjungan ke Indonesia, Paus kembali menyerukan hal yang sama. Dalam Deklarasi Istiqlal misalnya, Paus dan para pemimpin agama di Indonesia sepakat bahwa perdamaian merupakan penawar utama fenomena krisis kemanusiaan (dehumanisasi) global yang ditandai dengan merebaknya kekerasan dan konflik; dan dialog antaragama menjadi sarana penunjangnya.
Maka, berhadapan dengan aneka konflik sosial dalam realitas keberagaman Indonesia, seruan perdamaian Paus Fransiskus menjadi jawaban mutlak yang patut disambut.
Seruan ini serentak menjadi kompas di tengah kebimbangan dan pesimisme yang menghambat bertumbuhnya iklim hidup berbangsa yang solid, toleran, dan harmonis.
Makna dan Relevansi Semboyan Kunjungan
Pada hakikatnya, kata iman, persaudaraan, dan bela rasa bukan semata-mata bahasa religius agama tertentu. Maka semboyan kunjungan Paus tersebut tidak terkooptasi dalam scope Gereja saja.
Dan bila ditarik suatu benang merah, maka ketiga konsep tersebut dapat membentuk suatu ungkapan teologis yang relevan bagi segenap umat beragama di Indonesia, bahwasannya iman sebagai jawaban atas tawaran kasih Allah menyatukan semua umat beragama dalam semangat persaudaraan dan mendorong mereka untuk berbela rasa terhadap sesama yang menderita.
Dengan kata lain, iman adalah titik berangkat sebuah persaudaraan universal—persaudaraan yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat identitas; dan iman itu harus berbuah bagi keutuhan semesta dan kesejahteraan sesama, khususnya mereka yang dibelenggu kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan aneka pengalaman periferil lainnya.
Sekali lagi, panggilan untuk mewujudkan iman dalam persaudaraan yang berujung pada kemampuan untuk turut merasakan dan menjawabi penderitaan yang lain adalah seruan universal, berlaku bagi siapa saja, apapun agamanya.
Maka, manusia Indonesia yang kita harapkan pasca-kunjungan Paus Fransiskus adalah manusia yang mampu menjunjung persatuan dan perdamaian meskipun hidup dalam perbedaan; dan agama yang kita harapkan ialah agama yang terbuka pada realitas penderitaan di sekitarnya dan aktif membangun dialog satu sama lain dalam menjawabi aneka pergulatan yang dihadapi oleh umat manusia dan alam semesta.
Dengan demikian agama mampu menampakkan dimensi transformatif sebagai buah dari imannya kepada Allah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.