Opini

Opini: Cacat Legitimasi BOP Halal Labuan Bajo

Domain wisata tidak mengenal kategori halal-haram, tetapi cluster social, yakni the lux, middle class, dan social class.

Editor: Dion DB Putra
ILUSTRASI
Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. 

Oleh: Lukas Benevides
Mahasiswa Pascasarjana University of Arizona, Amerika Serikat.

POS-KUPANG.COM - Isu wisata halal Labuan Bajo kembali menguat. Dorongan untuk menghalalkan wisata Labuan Bajo sudah menggema sejak tahun 2019 dan memicu kontroversi.

Tahun 2020, wacana ini meredup lantaran mendapat penolakan dari aneka lini warga NTT, entah aktivis, akademisi, ulama entah warga setempat. Dikira sungguh menghilang, rupanya kembali memanas bahkan mengancam keharmonisan antarwarga (Pos-kupang.com 31/8/2023).

Padahal, mantan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) pernah dengan keras melarang dan menolak kehadiran BOP Halal di Labuan Bajo dengan tiga rasionalitas (Victory News, 04/05/2019).

Pertama, soal tata cara administrasi kenegaraan. Wacana BOP halal di Labuan Bajo tidak berkoordinasi dengan Pemprov NTT. Maka, BOP halal tersandung ‘maladministrasi’.

Kedua, ihwal dunia wisata. Domain wisata tidak mengenal kategori halal-haram, tetapi cluster social, yakni the lux, middle class, dan social class. Jadi, BOP halal cacat secara sosial.

Ketiga, perihal prinsip moral. Terminologi halal selalu mengandaikan haram. Kalau ada hal yang dihalalkan di Labuan Bajo, pasti ada juga yang diharamkan.

Selain itu, wacana BOP Halal bak tamu yang mendatangi NTT tanpa menyampaikan ‘permisi’ kepada tuan rumah. Hal ini tentu menodai kesadaran moral warga NTT.

Jualan BOP Halal memiliki kandungan moral, tetapi tidak menghargai moralitas (norma sopan santun) masyarakat lokal.

BOP Halal dengan demikian terkendala cacat etis. Saya sepakat dan ingin mendalami argumentasi VBL, terutama perihal kedua dan ketiga.

Esensi Pariwisata: Estetika

Tentu pariwisata memiliki banyak aspek di dalam hidup bermasyarakat. Kehadiran pariwisata mempunyai efek ekonomi, sosial, politik, dan bahkan religius. Namun itu efek, hal kedua yang baru bisa kita bicarakan kalau sesuatu sudah berada.

Alasan keberadaan, “raison d’etre,” locus wisata sebenarnya adalah estetika. Estetika memiliki dua pengertian (Malpas, 2003). Pertama, estetika adalah studi mengenai keindahan dalam seni dan alam.

Kedua, estetika mengacu pada seluruh proses persepsi dan sensasi manusia terhadap objek eksternal. Pendeknya, estetika berurusan dengan relasi resiprokal subjek- objek seni. Di dalam kerangka ini, estetika tidak berkaitan sama sekali dengan norma moral agama apapun, apalagi moralisme.

Estetika memiliki logika seni. Logika seni tidak normatif dan eksakta sehingga berpretensi dan berpotensi membingkai (enframing) dan mengamputasi realitas. Logika seni itu “let it be”, meminjam ide Martin Heidegger, atau “anything goes” Jean Francois-Lyotard.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved