Opini

Opini: Cacat Legitimasi BOP Halal Labuan Bajo

Domain wisata tidak mengenal kategori halal-haram, tetapi cluster social, yakni the lux, middle class, dan social class.

Editor: Dion DB Putra
ILUSTRASI
Pulau Padar di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. 

Berbeda dengan logika ilmu-ilmu eksakta dan normatif yang cenderung doktriner dan mendikte, estetika-seni membiarkan semuanya tampil di atas panggung realitas dengan segala kemungkinannya dan mengalir alami.

BOP Halal merupakan sebentuk wadah normatif-legal-moral religius. Bila wadah semacam ini memasuki wilayah estetika-seni, panggung estetika-seni akan kehilangan ruang kreativitas bahkan mati. Maka, upaya semacam ini tidak lebih dari hegemoni dan penjajahan simbolik.

Alih-alih ikut mengembangkan kawasan wisata Labuan Bajo, BOP Halal malah dapat mencermari dan memandekkan potensi wisata Labuan Bajo.

BOP Halal: Moralisme Bukan Etika

Kelihatan BOP Halal membawa intrik moralisme ke dalam area estetika pariwisata. Terminologi moralisme kasarnya boleh disebut sebagai penilaian moral yang berlebihan libido normatifnya atau preskripsi moral yang tidak bisa mengendalikan nafsu kontrolnya.

Moralisme dalam scope yang luas adalah segala bentuk stigma dan evaluasi moral berdasarkan perspektif normatif tertentu yang menempelkan kategori baik atau buruk, halal atau haram, suci atau dosa, pada semua bentuk tindakan dan barang.

Pendek kalimat, moralisme adalah ambisi moralitas untuk mencaplok semua domain hidup, padahal language game-nya berbeda (Lyotard, 1984, 1988).

Moralisme BOP Halal tampak dalam stigma ‘halal’ yang selalu mengandaikan ‘haram’ sebagai oposisi binernya. Oposisi biner selalu memviktimisasi. Ketika produk wisata tertentu dinilai halal dan yang lain tidak halal, produk lain akan menjadi korban di dalam kompetisi pasar.

Di balik produk, terdapat penjual, warga masyarakat. Maka, stigma halal turut mendatangkan malapetaka bagi warga kecil yang berjualan di area wisata Labuan Bajo.

Bila merambah ke ruang publik, BOP Halal harus bertanggung jawab terhadap tuntutan legitimasi etis. Legitimasi etis adalah sebuah keniscayaan di dalam hidup berbangsa karena menyentuh dasar kemanusiaan dan kepentingan banyak orang.

Berbeda dengan moralisme, legitimasi etis mempersoalkan keabsahan wewenang BOP Halal dari segi norma-norma moral (Magnis-Suseno, 1987). Etika mempertanyakan apa dasar prinsip moral yang berada di balik BOP Halal.

Etika berbeda dengan moralitas yang mengurusi rumah tangga norma-norma moral setiap kelompok. Domain estetika-seni tidak bisa dinalar dengan perspektif moral religius.

BOP Halal tentu saja berpayung asas legalitas. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif boleh saja memiliki banyak produk Undang-Undang yang mendasari program BOP Halal. Namun, legalitas belum tentu bisa dibenarkan secara etis.

Apakah aturan-aturan tersebut sudah merepresentasi kepentingan dan terutama martabat hidup layak semua warga yang terkena kebijakan BOP Halal?

Di hadapan pengadilan legitimasi etis, bila BOP Halal membawa moralitas kelompok atau agama tertentu, ia tidak tahan uji. Legitimasi etis menuntut prinsip moral apapun yang diaplikasikan di dalam hidup bermasyarakat harus merepresentasi kehendak dan kesadaran moral masyarakat terkait, bukan kelompok tertentu.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved