Opini

Opini: Nekrokrasi dan Pesan-Pesan dari Assumpta

Para penonton dituntut untuk mengidentifikasi mereka berdasarkan penampilan mereka di atas panggung pertunjukan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Mario F Lawi. 

Pendekar Lima Dimensi dibuka dengan sapaan tiga pemandu acara dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Latin.

Setelah lagu pembuka, doa pembuka dibawakan dalam bahasa Latin, serta sambutan para imam tersebut, rangkaian pentas yang berlangsung selama dua jam diisi dengan lagu, puisi, pantun, dan tarian, yang dibawakan baik secara solo maupun berkelompok oleh para siswa kelas XI seminari.

“Mayat-Mayat Berjalan” adalah satu-satunya mata acara yang dibawakan oleh siswa kelas XII. “Cucullus non facit monachum,” kutip sang Badut, salah satu pelayan Olivia dalam komedi Shakespeare berjudul “Twelfth Night; or, What You Will”, “Mengenakan kerudung tidak lantas membuat seseorang menjadi biarawan/rahib”.

Secara bebas, pepatah Latin tersebut bisa diterjemahkan sebagai “Jangan menilai berdasarkan apa yang tampak.” Dalam “Mayat-Mayat Berjalan”, para mayat yang disepelekan oleh orang-orang hidup justru merupakan tokoh-tokoh yang paling memikirkan nasib kehidupan.

Meski demikian, sebagai aksi panggilan, Pendekar Lima Dimensi dengan baik mengirimkan pesan kepada para penonton melalui aspek-aspek indrawi, misalnya kemampuan membawakan acara dan kefasihan berbahasa asing para pemandu acara, kemampuan berkesenian para penampil, hingga kemampuan manajemen pementasan yang menuntut disiplin dan dedikasi para seminaris, maupun pihak-pihak yang terlibat.

Penilaian sepenuhnya berada di tangan penonton. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved