Opini

Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising

Buzzer yang dipahami adalah mereka yang menciptakan keributan/kebisingan dalam medsos. Dalam konteks politik dinamakan Buzzer politik.

Editor: Alfons Nedabang
SERAMBI INDONESIA
Ilustrasi buzzer politik. Paul Ama Tukan menulis opini Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising. 

Dalam menjalankan aksi buzz politik, para Buzzer biasanya terbagi menjadi tiga kelompok (Juditha:2019). Pertama, Person in Charge dan PIC Support.

Bagian ini bertugas untuk merancang gerakan dan sasaran, mengatur strategi dan mengukur efektivitas pesan.

Kelompok kedua disebut Content Writer yaitu mereka yang menyusun narasi-narasi untuk disebarkan di forum-forum medsos.

Dan kelompok ketiga adalah admin yaitu mereka yang bertugas mengendalikan dan memantau semua strategi serta mempertajam isu-isu yang telah diposting ke ruang publik medsos.

Cara-cara lain yang akhir-akhir ini kerap dilakukan para buzzer ialah melalui link shering, virtual community untuk menciptakan trending topic seorang figur politik atau pasangan calon pemimpin dalam momen menjelang pemilihan elektoral.

Baca juga: Opini Silvester Sili Teka: Mengawasi “Ruang Hampa” Digitalisasi Pemilu

Belajar dari Pilkada DKI Jakarta 2017 yang juga dikenal sebagai perhelatan demokrasi paling dramatis, isu agama berhasil dimainkan oleh para Buzzer untuk menurunkan reputasi pasangan Basuki Thajaja Purnama (Ahok) dan Djarot Syaiful.

Narasi tentang mayoritas-minoritas berhasil menjerat Ahok ke pengadilan dan berujung ke penjara.

Peran para Buzzer saat itu menjadi faktor kunci mengapa fragmentasi sosial di tengah masyarakat begitu kuat sehingga melumpuhkan reputasi Ahok secara drastis.

Para Buzzer, melalui gerakan secara virtual menyodorkan isu-isu agama untuk memperkeruh situasi di tengah masyarakat.

Di sini, para Buzzer politik diketahui menjalankan paling kurang tiga strategi komunikasi. Pertama, menyebarkan disinformasi secara massif sebagai serangan terhadap akuntabilitas media-media konvensional.

Tujuan utama penyebaran disinformasi ini ialah menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat agar fakta-fakta lapangan yang berhasil mempromosikan reputasi figur atau partai politik dapat secepatnya tereliminasi dari perhatian publik.

Kedua, amplifikasi pesan. Para Buzzer berusaha mengamplifikasi pesan sebanyak mungkin agar terbaca oleh algoritma internet.

Akibatnya, pesan-pesan akan terus booming dan trending dalam medsos sehingga narasi-narasi yang dilontarkan Buzzer politik selalu menempati urutan teratas pada halaman medsos.

Baca juga: Opini Yohanes Mau: Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas

Ketiga, strategi komunikasi dengan membangun percakapan pro-kontra melalui akun-akun bayangan. Strategi komunikasi ini dibuat seolah-olah dialektis dengan melontarkan narasi-narasi problematis dan bombastis. Tujuannya membuat publik penasaran.

Para Buzzer membuat banyak akun dengan maksud agar informasi yang diposting itu juga terkesan seolah-olah menuai beragam tanggapan dengan mengonfrontasi argumentasi-argumentasi yang paling mungkin masuk akal.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved