Opini
Opini Theresia Siti: Independensi Perempuan Dalam Menentukan Hak Pilih pada Pemilu 2024
Pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan akan segera kita laksanakan. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh pegiat demokrasi.
POS-KUPANG.COM - Pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan akan segera kita laksanakan. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh setiap pegiat demokrasi-politik di negeri demokratis. Inilah kesempatan setiap warga negara mengaktualisasikan dirinya sebagai homo politics.
Inilah saatnya para politisi berpetualang dan melalang buana ke setiap tempat, lembah dan bukit, kampung dan kota. Inilah momen perjumpaan antara warga negara sebagai pemilih dengan kandidat pejabat negara. Inilah momen rakyat disembah, dipertuan-agungkan para politisi.
Diskursus-diskursus tentang nilai-nilai demokrasi berlangsung di mana-mana. Wacana-wacana politik bersih dan sehat menjadi ide-ide yang tak berkesudahan.
Kata-kata partisipasi, independen, no money politic, tolak SARA, berseliweran di setiap ruang dan waktu. Kata-kata tersebut seolah-olah menjadi kata-kata magis yang terkadang hanya menjadi angin lalu bagi sebagian warga dan politisi.
Di sisi lain, kata-kata tersebut menjadi nilai yang harus dan terus diperjuangkan demi tegaknya demokrasi yang bersih dan sehat.
Baca juga: Opini Yohanes Mau: Memonitoring Politisi Menjaring Pemimpin Berkualitas
Independensi perempuan sebagai pemilih dalam pemilu 2024 menjadi satu agenda penting untuk diperjuangkan. Perjuangan akan independensi perempuan adalah bentuk dukungan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
Independensi perempuan adalah wujud otonomi perempuan untuk menentukan pilihannya.
Perempuan berhak untuk menentukan pilihanya sendiri tanpa ada tekanan dari berbagai pihak baik dalam ranah privat maupun publik.
Tantangan Independensi Pemilih Perempuan
Jika merujuk pada potret fenomena sosial selama ini, perempuan tidak hanya tersisih dalam kelas sosial tetapi juga terpinggirkan dalam menentukan sikap politiknya.
Sebagai pemilih, pilihan perempuan lebih dikendalikan oleh laki-laki atau pemimpin di komunitasnya, ditentukan oleh orang tua, ditentukan oleh suami, dan otoritas yang lebih berkuasa.
Hal ini diperparah lagi dengan kurangnya kesadaran kelompok laki-laki untuk turut serta mendukung dan mendorong keterwakilan perempuan dalam penyelenggaraan pemilu.
Diskusi-diskusi politik antara kontestan dan warga lebih didominasi oleh laki-laki atau perempuan elit di lingkungannya. Informasi dan edukaasi politik lebih mudah diakses oleh kaum laki-laki. Hal ini berdampak pada rendahnya informasi politik yang dimiliki kelompok perempuan. Perempuan pun tidak mengenal pilihannya secara baik.
Partisipasi perempuan dalam politik lebih banyak diatur oleh kaum laki-laki. Misalnya saja dalam memenuhi kuota calon legislatif. Perempuan dilibatkan hanya untuk memenuhi kuota atas perintah undang-undang.
Baca juga: Opini Silvester Sili Teka: Mengawasi “Ruang Hampa” Digitalisasi Pemilu
Fenomena afirmatif ini lebih dilihat sebagai beban bagi sebagian partai. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir, politisi perempuan semakin bermunculan dan bahkan ada yang menjadi politisi handal. Ada yang sangat getol dan gigih dalam memperjuangkan isu-isu gender dan isu-isu perempuan lainnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.