Opini
Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising
Buzzer yang dipahami adalah mereka yang menciptakan keributan/kebisingan dalam medsos. Dalam konteks politik dinamakan Buzzer politik.
Literasi Digital Dan Penguatan UU ITE
Di tengah gempuran kecepatan informasi yang kerap digunakan Buzzer untuk melancarkan propaganda, literasi digital diupayakan pertama-tama dengan cara menangguhkan setiap informasi yang diperoleh dan mengedepankan sikap check and recheck sumber informasi bersangkutan.
Identitas informan mesti dicermati agar sekurang-kurangnya memberi keyakinan sementara terhadap sumber sebuah informasi.
Kedua, dalam media digital, literasi diupayakan dengan kegiatan membaca sambil membandingkan. Dalam ruang siber, informasi-informasi bersileweran.
Literasi digital dilakukan dengan upaya komparasi terhadap satu informasi dengan informasi lain atau sumber lain.
Dengan kemudahan akses internet, setiap orang sebenarnya mesti membandingkan sumber-sumber informasi secara teliti. Media Massa mainstream berbasis digital adalah salah satu referensi yang bisa diandalakan dalam upaya komparasi informasi ini.
Baca juga: Opini Ovan Baylon: Hacker dan Kolonialisasi Digital
Ketiga, literasi digital diupayakan dengan meminimalisasi upaya digitalisasi semua segi kehidupan. Upaya ini memang agak kontradiktif tetapi merupakan sebuah cara untuk melihat dampak-dampak digitalisasi itu sendiri. Penetrasi Media Sosial adalah sebuah indikator bahwa semua segi kehidupan cenderung didigitalisasi.
Tawaran terakhir ialah penguatan UU ITE secara lebih egaliter dalam kehidupan berwarga negara. Penguatan ini mesti pertama-tama diupayakan oleh para penegak hukum; polisi, hakim dan jaksa.
Di Indonesia, hukum cenderung tumpul ke arah penguasa karena lemahnya komitmen para penegak hukum. Buzzer politik kerap menjadi suruhan para penguasa untuk membungkam oposisi.
Karena itu, penegak hukum mesti terbebas dari kepentingan apapun untuk menegakkan keadilan sebagaimana amanat undang-undang.
Menjelang Pemilu, ruang publik tak terkecuali ruang digital-virtual sedang “bising” oleh promosi figur dan parpol. Masyarakat mesti memiliki literasi digital dan politik yang memadai untuk tidak mudah terjebak dalam provokasi berbasis sara, etnis dan agama.
“Kebisingan” ruang publik penting dalam konteks menghidupkan dialektika epistemis tetapi tidak dalam konteks meniupkan sentimentalitas tanpa fakta.
Ruang publik jelang Pemilu mesti berbasis pada sikap egaliter dan nilai-nlai etis yang sejak awal menyatukan dan merawat Indonesia yang jamak ini. (Penulis adalah Anggota KMK dan Diskusi Filsafat Ledalero)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.