Opini
Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising
Buzzer yang dipahami adalah mereka yang menciptakan keributan/kebisingan dalam medsos. Dalam konteks politik dinamakan Buzzer politik.
Pada akhirnya, para Buzzer sendiri yang membuat klaim-klaim atas informasi itu. Pada titik paling ekstrem, strategi politik dengan cara ini dapat berakibat pembeberan ranah privat lawan politik dan dengan demikian mencederai karakter individu, etnis dan golongan tertentu.
Buzzer Politik dan Komodifikasi Informasi
Pada Pilpres 2014 misalnya, figur Jokowi yang sederhana dan populis dijadikan komoditas para Buzzer untuk dipasarkan kepada publik.
Buzzer politik menjual kesahajaan individual Jokowi padahal kesahajaan individual itu sama sekali tidak bersentuhan dengan integritas dan komitmen untuk menyelamatkan ruang publik dari caplokan para oligark yang juga kerap berwajah sahaja.
Baca juga: Opini Albertus Muda, S.Ag: Revolusi Diri Wakil Rakyat
Adanya komodifikasi informasi oleh Buzzer politik terbukti mencederai demokrasi. Dengan menjalankan propaganda politik secara masif, ruang publik demokrasi sudah tercemar oleh persaingan yang tidak fair.
Persaingan ini mencerminkan bahwa nafsu politis tidak didasarkan pada bobot argumentasi rasional tetapi justru pada sentimentalitas sektarian yang berbasis modal.
Fenomena menguatnya Buzzer politik juga menjadi ketakutan sebagaimana perspektif Manuel Castels yakni ketakutan akan lenyapnya ruang publik yang dianggap telah bertransformasi ke dalam ruang siber (cyberspace).
Alasannya ialah kekuatan-kekuatan modal akan menjadi pelopor semua gerakan politik untuk mendistorsi dan menekan ruang publik.
Buzzer Politik dan Propaganda Politik
Perlu dicermati bahwa propaganda politik yang dilakukan Buzzer politik tidak hanya sebagai gerakan antitesis terhadap kekuasaan (baca: pemerintah).
Buzzer politik juga dapat merupakan gerakan yang dibiayai kekuasaan sebagai pihak yang seharusnya menentukan juntrung demokrasi.
Dalam penelitiannya tentang industri Buzzer politik di Indonesia, Shiddiq Sugiono menemukan bahwa pemerintah Indonesia pada tahun 2020 telah terindikasi membiayai para Buzzer politik untuk meredam gerakan oposisi.
Baca juga: Opini Dony Kleden: Sesat Pikir Politik Pendidikan di NTT
Padahal, gerakan oposisi sangat menentukan keberlangsungan demokrasi yang sehat karena melaluinya kebijakan-kebijakan dapat dipertimbangkan secara argumentative dan fair.
Penelitian Sugiono juga membuktikan bahwa efektivitas UU ITE yang mengatur transaksi informasi elektronik hanya menyasar pada oposan. Dengan kata lain, UU ITE hanya merupakan tameng untuk menutup resistensi pemerintah atas kontrol oposan.
Pada titik ini, Buzzer politik di Indonesia tidak hanya membajak demokrasi dari posisi eksternal tetapi juga lebih-lebih dari posisi internal kekuasaan. Buzzer politik adalah kaum “sofis” virtual yang menjalankan propaganda fiktif dan tentu mencaplok ruang demokrasi secara tragis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.