Opini

Opini Paul Ama Tukan: Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising

Buzzer yang dipahami adalah mereka yang menciptakan keributan/kebisingan dalam medsos. Dalam konteks politik dinamakan Buzzer politik.

Editor: Alfons Nedabang
SERAMBI INDONESIA
Ilustrasi buzzer politik. Paul Ama Tukan menulis opini Buzzer Politik dan Ruang Publik yang Bising. 

POS-KUPANG.COM - Suksesi politik elektoral 2024 mendatang sudah dimulai. Belajar dari penelitian Murwani dan Elmada pada perhelatan Pemilu 2019, gerakan politik virtual tidak bisa dianggap sepele dan biasa.

Pasalnya, demokrasi berbasis digital menguasai panggung politik; transparansi dibangun tetapi serangan siber dengan dalih politik identitas sulit diibendung.

Saat itu (2019), dewan Pers mencatat terdapat 43.000 situs online yang ada di Indonesia. Namun, ironisnya hanya 300 situs yang terdaftar secara resmi.

Murwani dan Elmada (2019) menemukan bahwa sebagian situs online yang tidak terverifikasi pada dewan pers tersebut dikelola oleh para buzzer politik (Shidiq Sugiono, 2020:59). Penemuan yang sama pun terverifikasi dalam kontestasi politik bangsa pasca pemilu.

Baca juga: Opini Yohanes Bura Luli: Menjaga Marwah Politik Pemilu

Buzzer Politik, Apa itu?

Secara etimologis, kata Buzzer berasal dari kata bahasa Inggris yang berarti bel, lonceng atau alarm.

Istilah ini secara harfiah berkonotasi positif yaitu penanda atau pengingat untuk melakukan kegiatan tertentu dengan maksud menarik perhatian massa.

Sedangkan secara praksis, kata Buzzer merujuk pada aktivitas pemasaran (marketing) yaitu orang yang mempromosikan produk perusahan tertentu di dalam media sosial untuk menggaet pembeli/pelanggan.

Namun, akibat penetrasi medsos dewasa ini, kata Buzzer kemudian mengalami pergeseran makna.

Seturut kamus Oxford, Buzzer diartikan sebagai “an electrical devices that makes a busing noise and is use for signalling”, sebuah perangkat elektronik yang membuat kebisingan untuk memberi tanda/sinyal.

Pengertian ini dijelaskan sebagaimana kata Buzzer itu dipakai untuk merujuk pada aktivitas membuat kebisingan (penggaung).

Diketahui dari defenisi Oxford ini, arti kata Buzzer berubah seturut adanya perkembangan media baru seperti Twitter yang didirikan pada 21 Maret 2006 oleh Jack Dersey, dkk.

Baca juga: Opini - Peran Elite Mematangkan Demokrasi

Buzzer yang dipahami sekarang adalah mereka yang menciptakan keributan/kebisingan dalam medsos. Dalam konteks politik dinamakan Buzzer politik (penggaung politik).

Di Indonesia, keterlibatan Buzzer mulai diketahui sejak tahun 2006 saat platform media sosial Twitter digunakan. Dalam dunia politik, Buzzer mulai ramai dibicarakan pada tahun 2012 saat pemilihan kepala daerah DKI Jakarta.

Para Buzzer bermunculan bersamaan dengan relawan politik yang bekerja untuk kandidat yang didukungnya. Baru pada momen Pilplres 2014, Buzzer mulai digunakan secara luas untuk kepentingan politik (Rieka Mustika, 2020).

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved