Liputan Khusus
LIPSUS: 85 Persen Pelajar Terpapar Seks Bebas, Kasus HIV AIDS Meningkat
Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Lembata menemukan banyak pelajar SMP dan SMA pada 16 sekolah terpapar seks bebas.
POS-KUPANG.COM, LARANTUKA - Komisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Lembata menemukan banyak pelajar SMP dan SMA pada 16 sekolah terpapar seks bebas.
"Kami turun ke 16 sekolah, ada 85 persen yang aktif berhubungan seks, dan itu disebut WPS (Wanita Pekerja Seks) tak langsung," ujar Sekretaris KPAD Lembata, Nefri Eken, Kamis (9/10/2025).
Dia menjelaskan, pekerja seks tidak langsung adalah mereka yang tinggal bersama orangtua, tetapi aktivitas seks lancar. Sementara pekerja seks langsung tinggal sendiri dan menjual "jasa ranjang" untuk membiayai hidupnya.
"WPS langsung itu mereka yang menawarkan diri untuk biaya hidup dirinya," ungkapnya.
Dikatakan, temuan di 16 sekolah itu saat pihaknya bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) Lembata melakukan kunjungan dan layanan konseling tes HIV/AIDS (Mobile VCT).
Baca juga: LIPSUS: SPPG Diberi Waktu Satu Bulan Urus Sertifikat Laik Higiene Sanitasi SLHS
Kondisi ini tentunya menjadi ancaman terhadap bahaya penyebaran HIV/ADIS secara lebih massif di Lembata. Para pelajar ini terhimpun dalam sejumlah group facebook dan WhatsApp. Wadah ini dipenuhi tawaran jasa seks daring bertarif dari puluhan ribu hingga Rp 500.000.
Nefri merincikan nama-nama group yang di dalamnya terdapat remaja perempuan, seperti Lonte Online Lembata, Repsol, Waikomo City Nice, Loang Bergoyang, dan beberapa group yang belum terkonfirmasi.
"Group-group ini ada di masangger facebook dan WhatsApp. Anak SMP dan SMA juga ada di dalam, kalau group Sundal Seks Community (SSC) itu orang dewasa," jelasnya.
KPAD Lembata pernah memetakan data terkait wanita pekerja seks pada tahun 2023. Saat itu, sebanyak 507 pekerja seks, berusia 15 sampai 19 tahun. Untuk tahun 2024 dan 2025 pihaknya belum melakukan pemetaan karena tidak ada anggaran.
Pemetaan WPS berlangsung terpusat di Kota Lewoleba karena menjadi transit para pekerja seks dari berbagai penjuru daerah di Lembata.
Meski tak ada dukungan anggaran, tambahnya, KPAD tetap bekerja keras. Hal ini dilakukan semata-mata demi kebaikan banyak orang, apalagi menyangkut generasi di Lembata.
Dinas Kesehatan Lembata mencatat terjadi penambahan 26 kasus HIV/AIDS pada Januari hingga Oktober 2025. Kabupaten ini termasuk berisiko sehingga semua pihak perlu meningkatkan pengawasan.
Kepala Dinas Kesehatan Lembata, Goerillya A. Huar Noning, melalui Penatakelola Layanan Kesehatan Orang dengan Risiko Terinfeksi HIV, Darius Baki Akamaking, mengatakan 26 kasus juga mencakup lanjut usia (Lansia).
Dia merincikan, berdasarkan usia, penderita HIV/AIDS usia 0-5 tahun ada satu kasus, 20-24 ada 4 kasus, 25-30 ada 7 kasus, dan 31- 64 jadi yang terbanyak, yaitu 13 kasus.
"Laki-laki lebih banyak, ada 16 orang, sementara perempuan 10 orang," ujar Darius kepada wartawan, Selasa (7/10/2025).
Baca juga: LIPSUS: Sehari Butuh 180 Kg Ayam, Mabar Mulai Program MBG, 16 Sekolah Keracunan
Darius menuturkan, penularan HIV di Lembata meliputi beberapa faktor, mulai dari banyaknya Pekerja Migran Indonesia (PMI), termasuk para pekerja seks tanpa pengawasan yang baik.
"Kita juga terkendala anggaran, selama ini Rp 10.000.000, bahkan sampai Rp 5.000.000," ujar Darius.
Sementara Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Kupang berencana membentuk tim Relawan Pendidik Sebaya di setiap sekolah menengah pertama (SMP) di wilayah Kota Kupang.
Program ini bertujuan untuk mengantisipasi dan mencegah maraknya praktik prostitusi terselubung di kalangan remaja serta memberikan edukasi tentang bahaya HIV/AIDS kepada para pelajar.
Sekretaris KPA Kota Kupang, Julius Tanggu Bore, mengatakan pihaknya telah menyiapkan program pembentukan relawan tersebut sebagai bagian dari upaya pencegahan dini.
"Sementara kami ada siapkan program pembentukan Relawan Pendidik Sebaya," ujar Julius yang akrab disapa Jems, Selasa (7/10/2025).
Ia menjelaskan, relawan yang dibentuk nantinya akan berperan aktif memberikan edukasi dan informasi kepada sesama pelajar mengenai bahaya HIV/AIDS dan pentingnya menjaga perilaku sehat.
"Relawan Pendidik Sebaya ini bertugas untuk mengedukasi atau bercerita dengan teman-teman lainnya tentang bahaya HIV/AIDS," tambahnya.
Lebih lanjut, Julius berharap program tersebut dapat segera diterapkan di seluruh SMP di Kota Kupang, dan ke depan bisa diperluas ke jenjang SMA/SMK hingga perguruan tinggi, agar edukasi mengenai pencegahan HIV/AIDS dapat menjangkau lebih banyak kalangan muda.
HIV/AIDS Meningkat
Menurut Jems, kasus HIV/AIDS di Kota Kupang terus menunjukkan tren peningkatan yang mengkhawatirkan. Hingga Agustus 2025 tercatat sebanyak 2.529 warga hidup dengan HIV/AIDS. Jumlah tersebut merupakan akumulasi kasus sejak tahun 2000 hingga 2025.
Ia menegaskan, laki-laki masih mendominasi jumlah penderita dibanding perempuan, dengan tren peningkatan yang terjadi hampir setiap tahun.
"Kasus HIV/AIDS di Kota Kupang terus meningkat. Ini menjadi sinyal penting bahwa masyarakat harus memperkuat kesadaran, melakukan pemeriksaan dini, dan mencegah penularan, terutama di kalangan usia produktif," kata Jems.
Selama kurun waktu 25 tahun terakhir, menurut Jems peningkatan kasus HIV AIDS di Kota Kupang berlangsung signifikan. Puncak kasus tertinggi terjadi pada tahun 2012 dengan lebih dari 400 kasus baru dalam satu tahun.
Baca juga: LIPSUS: Satu SPPG di Kota Kupang Dinonaktifkan, Buntut Kasus Keracunan Siswa
Data KPA menunjukkan bahwa usia produktif (20-49 tahun) merupakan kelompok dengan jumlah penderita terbanyak, yakni lebih dari 1.600 kasus.
Kondisi ini mengindikasikan penularan banyak terjadi di kalangan tenaga kerja aktif, yang seharusnya menjadi pilar utama dalam pembangunan ekonomi daerah.
Selain berdasarkan umur, sebaran kasus HIV AIDS juga menunjukkan pola yang cukup jelas di tingkat wilayah. Tiga kecamatan dengan jumlah kasus tertinggi adalah Oebobo 21 persen, Maulafa 20 persen, dan Kelapa Lima 20 persen disusul Alak 17 persen, Kota Raja 11 persen, serta wilayah lain seperti Kota Lama 12 persen.
Tingginya angka di tiga kecamatan ini diduga berkaitan dengan padatnya penduduk dan aktivitas sosial-ekonomi yang lebih tinggi dibanding wilayah lain.
Berdasarkan klasifikasi pekerjaan, kelompok swasta menempati posisi tertinggi dengan 25 persen kasus, diikuti ibu rumah tangga 18 persen, lain-lain 17 persen, pelajar/mahasiswa 10 persen, wiraswasta 8 persen, dan PNS 7 persen.
Menurut Jems, yang paling mengkhawatirkan, kelompok ibu rumah tangga kini menjadi salah satu penyumbang terbesar kasus HIV/AIDS di Kota Kupang.
Banyak di antara mereka tertular dari pasangan yang sebelumnya sudah terinfeksi. Hal ini menandakan bahwa penularan di dalam rumah tangga kini menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian.
”Karena itu, pemeriksaan HIV bagi pasangan menikah dan ibu hamil perlu menjadi bagian dari layanan kesehatan rutin," tegas Jems.
Baca juga: LIPSUS: SILPA Tembus Rp 2 Triliun, Kanwil DJPb Siap Kawal
Sedangkan Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kabupaten Sabu Raijua mencatat ada 8 kasus HIV/AIDS sejak Januari hingga September 2025.
Kepala Dinas Kesehatan Sabu Raijua, Thobias Jusuf Messakh, S.KM kepada Pos Kupang, Senin (6/10/2025), menyebutkan, delapan kasus itu terjadi pada anak-anak hingga orang tua.
“Jadi yang tertular itu kebanyakan orang Sabu yang kerja di luar daerah dan saat sudah terjangkit di luar, mereka kembali ke Sabu dan dari situlah virus ini mulai tersebar di sini. Ada juga pendatang atau orang baru yang sudah kena di luar dan datang ke Sabu,” ucap Thobias.
Dikatakan Thobias, pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap penderita HIV/AIDS dengan membuat grup khusus untuk saling berkoordinasi seperti terkait obat-obat yang mereka konsumsi.
Lebih lanjut, Thobias mengatakan, saat ini Pemerintah juga gencar melakukan sosialisasi yang bertujuan untuk mengedukasi masyarakat khususnya siswa/i SMP dan SMA terkait bahaya dari penyakit menular melalui hubungan seks.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kabupaten Belu, Yustina Imelda Seu, S.KM, menyampaikan hingga Agustus 2025 terjadi penambahan 44 kasus baru HIV/AIDS di Kabupaten Belu.
Ia menyampaikan berdasarkan data Sistem Informasi HIV-AIDS (SIHA) Dinas Kesehatan Belu, total temuan selama periode Januari-Agustus 2025 mencapai 66 kasus, namun setelah dilakukan verifikasi terdapat 22 kasus ganda (error data) dan 15 kasus berasal dari luar wilayah, sehingga jumlah riil kasus baru di Kabupaten Belu mencapai 44 kasus.
Baca juga: Yufentius Tongkang dan Warga Gotong-Royong Bersihkan Jalan Patekaca-Puar Miteng
“Angka ini menunjukkan bahwa penularan HIV di masyarakat masih terus terjadi dan perlu menjadi perhatian serius, baik oleh pemerintah maupun seluruh elemen masyarakat,” ujar Yustina di ruang kerjanya, Senin (6/10/2025).
Ia menjelaskan, dari hasil analisis data, kelompok usia produktif 25-49 tahun menjadi yang paling tinggi dengan 30 kasus, disusul kelompok usia di atas 50 tahun 8 kasus, dan usia 20-24 tahun 6 kasus. Sementara kelompok anak dan remaja (5-19 tahun) tidak ditemukan kasus baru sepanjang tahun ini.
Dari sisi jenis kelamin, tambahnya, laki-laki mendominasi jumlah kasus dengan 30 orang, sementara perempuan sebanyak 14 orang.
Meski jumlah kasus baru di tahun 2025 lebih rendah dibanding tahun 2024 yang mencapai 92 kasus, namun angka tersebut tetap menjadi peringatan bahwa upaya pencegahan dan edukasi harus terus ditingkatkan.
Lebih lanjut, Yustina menjelaskan program pengendalian HIV/AIDS di Kabupaten Belu sejalan dengan target nasional “3 Zero 2030”, yaitu zero new infection (tidak ada infeksi baru), zero AIDS-related death (tidak ada kematian akibat AIDS), dan zero discrimination (tidak ada diskriminasi terhadap ODHA). (cbl/rey/gus/mey)
*1.786 ODHA Enggan Berobat
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) NTT menemukan sejumlah kendala dan tantangan yang dihadapi dalam menghadapi persoalan HIV/AIDS di NTT.
Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTT, Adrianus Lamury saat dihubungi Pos Kupang, Senin (6/10) mengatakan, tingginya praktik hubungan seksual di usia remaja diakibatkan informasi pornografi yang mudah diakses kaum muda saat ini.
Selain itu, masih rendahnya edukasi kesehatan reproduksi di kalangan remaja, hingga kasus HIV yang menginfeksi masyarakat di pelosok pedesaan yang jauh dari pusat perkotaan. Untuk menjangkau wilayah tersebut membutuhkan dana operasional yang tinggi namun KPA tidak mempunyai dana yang cukup.
“Hingga saat ini anggaran di daerah bervariasi namun di Provinsi NTT hanya Rp 100 juta sedangkan anggaran yang ideal untuk penanggulangan HIV AIDS di daerah kepulauan adalah Rp 500 juta.
Kendala lain yang dihadapi KPA tambahnya, jumlah pekerja seks perempuan yang tidak berkonsentrasi sehingga menyulitkan LSM dan KPA untuk menjangkau dan mendorong untuk test HIV dan infeksi menular seksual.
Juga rendahnya ketersediaan kondom di daerah non intervensi pendanaan global fund, banyaknya kabupaten yang sangat minim pendanaan bagi pengendalian HIV/AIDS.
Warga Peduli AIDS (WPA) yang dibentuk KPA hanya ada di 225 desa dan kelurahan tetapi banyak yang tak berjalan karena tak ada dana operasional. Sementara LSM Peduli AIDS hanya tersedia di Kota Kupang, Kabupaten Sikka dan Kabupaten Belu saja.
Baca juga: Razia Pemberantasan Peredaran Narkoba, Handphone dan Pungli di Lapas Atambua
Sementara kabupaten lain mengandalkan KPA dalam menjangkau populasi berisiko tinggi dan pendampingan ODHA/ODHIV.
Selain itu, masih terjadinya keterlambatan distribusi obat ARV bagi ODHA/ODHIV bagi beberapa daerah hingga masih tinggi nya kasus ODHA/ODHIV yang lari dari pengobatan serta masih banyak ODHIV yang telah tahu status HIV dirinya tetapi belum mau minum obat ARV.
Ia menambahkan, data terbaru terkait ODHA/ODHIV yang lari dari pengobatan/LFU sesuai data per 31 Juli tahun 2025 ada 1.786.
"Kita juga harus mengorganisir ODHA dalam kelompok dukungan sebaya agar dapat memiliki wadah untuk saling mendukung atau sharing diantara mereka," ungkapnya. (ria)
*Ancaman Serius Bagi Anak
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) NTT menilai kasus prostitusi online yang menyeret mantan Kapolres Ngada merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat menyakitkan dan mencoreng wibawa aparat penegak hukum.
Ester Ahaswati Day, S.H., Pengacara LBH APIK sekaligus kuasa hukum dari tiga anak korban dalam kasus tersebut menjelaskan, peristiwa itu bukan hanya bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap tanggung jawab moral seorang aparat Kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat.
Ester saat diwawancarai Pos Kupang, Senin (7/10/2025) di kantor LBH APIK menjelaskan, LBH APIK mendampingi tiga anak korban, dua di antaranya adalah anak yang melakukan praktik prostitusi online.

Pendampingan dilakukan bersama DP3A Provinsi NTT, psikolog profesional, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tujuannya agar para korban mendapatkan perlindungan komprehensif selama proses hukum berjalan.
“Kami berikan pendampingan hukum, psikologis, sosial, dan juga memastikan anak-anak tinggal di tempat aman. Dua anak kami tempatkan di shelter dan satu anak bersama keluarga, tetapi dalam pengawasan ketat,” ujar Ester.
Selama proses penyidikan dan pemeriksaan, tim LBH APIK harus bekerja ekstra agar anak-anak korban merasa aman untuk memberikan keterangan. Korban yang masih berusia di bawah 10 tahun sulit bercerita secara terbuka tanpa pendekatan khusus.
“Kami menggunakan pendekatan bermain. Anak-anak ini baru mau bercerita saat mereka merasa nyaman. Jadi kami siapkan alat permainan sederhana, supaya proses pengambilan keterangan tidak menimbulkan tekanan psikis,” katanya.
Selain mendampingi di tahap pemeriksaan, LBH APIK juga berkoordinasi dengan pihak shelter, DP3A, dan psikolog untuk memastikan kondisi mental korban tetap stabil.
“Proses hukum panjang, dan bagi anak-anak ini sangat melelahkan. Karena itu kami fokus pada pendampingan berkelanjutan sampai pasca putusan nanti,” ujar Ester.
Ester menegaskan, keadilan bagi korban anak tidak berhenti pada hukuman berat bagi pelaku, tetapi juga bagaimana negara memastikan korban bisa kembali menjalani hidupnya dengan aman, bersekolah, dan mendapat pemulihan psikologis.
Baca juga: FEATURE: Festival Golo Curu 2025 di Manggarai, Lintas Agama Bersatu dalam Ritus Tuk Kopi
LBH APIK NTT menilai lemahnya edukasi dan pengawasan di tingkat keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial menjadi faktor utama anak mudah dieksploitasi. Perlindungan anak tidak bisa hanya diserahkan pada lembaga hukum.
Perlu keterlibatan aktif dari semua unsur masyarakat, terutama pemerintah daerah, sekolah, dan orang tua.
Perkembangan teknologi membawa manfaat besar, tapi tanpa pengawasan bisa jadi ancaman serius bagi anak. Anak-anak bisa terjerumus ke prostitusi online hanya karena kurang pengawasan dan edukasi.
Ester menegaskan pentingnya program edukasi dan sosialisasi di sekolah-sekolah dan tingkat kelurahan untuk mencegah anak terlibat dalam jaringan prostitusi online. Selama ini belum ada kerja kolaboratif yang kuat antara dinas terkait, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat. (uan)
Cegah Human Trafficking, Imigrasi Kupang Perkuat Sinergi dengan Pemkab dan Polres Rote Ndao |
![]() |
---|
Rayakan HUT ke-27, Bank Mandiri Gelar Pasar Murah di NTT |
![]() |
---|
Seruan Aksi Aliansi Rakyat Menggugat: Hentikan Pembangunan yang Merampas Hak Hidup Masyarakat NTT |
![]() |
---|
PN Kupang Gelar Konstatering Sengketa Tanah Nasipanaf |
![]() |
---|
Pempus Pangkas Anggaran, Pemprov NTT Siasati Opsi Lain untuk Gerakkan Ekonomi Daerah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.