Opini

Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur

Pemerintah menjanjikan tambang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menawarkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Dalam perjuangan mereka, makna “pembangunan” direbut kembali: bukan sebagai proyek menggali dan menguasai, melainkan sebagai upaya merawat kehidupan. 

Perlawanan perempuan di ruang-ruang lokal ini menjadi pengingat bahwa transformasi ekologis tidak akan lahir dari kebijakan yang dikuasai modal, tetapi dari tangan-tangan yang setia menjaga bumi dari ambisi mereka yang ingin memilikinya.

Menenun Perlawanan, Merawat Kehidupan

Dari Mollo di pegunungan Timor hingga Poco Leok di Flores dan Sanga-Sanga di Kalimantan Timur, jejak perjuangan perempuan memperlihatkan wajah paling nyata dari keadilan ekologis yang tumbuh dari bawah. 

Di Mollo, Mama Aleta Baun perempuan adat Molo memimpin ratusan perempuan menenun di lokasi tambang marmer sebagai bentuk perlawanan damai terhadap perusahaan yang merusak batu dan sumber air di tanah mereka. 

Aksi menenun di tengah deru mesin tambang menjadi simbol kekuatan perempuan yang mengubah kerja keseharian menjadi tindakan politik: sebuah cara menegaskan kasih terhadap bumi dan hak untuk hidup layak di tanah sendiri. 

Dalam satu momentum bersejarah, para perempuan adat bahkan melakukan aksi bertelanjang dada tindakan yang amat berani dalam budaya lokal untuk menunjukkan betapa bumi mereka telah dilucuti dan dilukai. 

Bagi mereka, tanah bukan sekadar benda mati, melainkan tubuh ibu yang memberi kehidupan. 

Gerakan ini kemudian mengguncang kesadaran publik dan memaksa negara serta korporasi mundur; perjuangan Mama Aleta diakui dunia melalui penghargaan Goldman Environmental Prize pada tahun 2013.

Di Poco Leok, perempuan-perempuan Manggarai menghadang proyek panas bumi yang diklaim sebagai energi hijau. 

Bagi mereka, Poco Leok bukan lahan eksploitasi, melainkan ruang spiritual tempat leluhur bersemayam sekaligus sumber air yang menopang kehidupan banyak desa. 

Mereka menegaskan bahwa tidak ada energi yang benar-benar “hijau” bila dibangun di atas perampasan ruang hidup dan penghancuran relasi ekologis. 

Sementara di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur, perempuan menghadapi ancaman batu bara yang tak pernah usai: merawat anak-anak di tengah debu tambang, mengorganisir aksi menuntut reklamasi lubang maut, serta menagih tanggung jawab negara atas kerusakan yang mencabut kehidupan mereka. 

Dalam kisah-kisah ini, perlawanan perempuan bukan sekadar keberanian moral, tetapi pengetahuan ekologis yang diwariskan turun-temurun dan dijalankan dalam praktik keseharian cara menegaskan bahwa menjaga bumi berarti menjaga masa depan umat manusia.

Kini, ketika krisis iklim kian nyata di NTT ditandai oleh kemarau panjang, gagal panen, dan kelangkaan air bersih konsekuensi dari model pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya alam tampak semakin telanjang. 

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa NTT merupakan salah satu provinsi dengan jumlah hari tanpa hujan terpanjang di Indonesia, mencapai lebih dari 150 hari per tahun di sejumlah kabupaten. 

Kondisi ekstrem ini diperparah oleh deforestasi, degradasi lahan akibat aktivitas tambang, dan hilangnya tutupan vegetasi yang selama ini menjadi penyangga ekosistem air. 

Di banyak tempat, masyarakat menghadapi sumur yang mengering, sawah yang retak, dan udara yang kian panas sementara izin tambang baru terus diterbitkan atas nama investasi dan kemajuan. 

Ironisnya, di tengah krisis ekologis yang kian genting, pemerintah masih menatap tambang sebagai “solusi”, seolah menggali lebih dalam berarti memperbaiki nasib rakyat. 

Padahal, dari sanalah akar krisis bermula: ketika alam direduksi menjadi komoditas, dan kesejahteraan diukur hanya dari pertumbuhan ekonomi jangka pendek, bukan dari keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungan.

Pembangunan yang Merawat, Bukan Menghancurkan

Di tengah krisis yang kian menekan, perempuan dari Mollo, Nausus, Poco Leok, hingga Sanga-Sanga di Kalimantan Timur tampil sebagai penjaga kehidupan. 

Mereka menolak tambang bukan karena menentang pembangunan, tetapi karena memahami bahwa pembangunan sejati tidak boleh menghancurkan sumber kehidupan. 

Ketika tanah retak dan air menghilang, mereka menenun, menanam, dan menjaga alam sebagai wujud cinta pada masa depan.

Gerakan perempuan tambang di NTT memperlihatkan wajah lain dari pembangunan yang berakar pada solidaritas, kemandirian, dan penghormatan terhadap alam. 

Dari perjuangan mereka, kita belajar bahwa kesejahteraan tidak diukur dari angka investasi, melainkan dari kemampuan menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan. 

Dalam tangan perempuan, pembangunan menemukan kembali maknanya: bukan sebagai proyek ekonomi, melainkan tindakan merawat kehidupan.

NTT tidak membutuhkan lebih banyak tambang, melainkan arah pembangunan yang berpihak pada keberlanjutan hidup. 

Pengalaman panjang menunjukkan bahwa industri ekstraktif hanya meninggalkan luka di tanah dan di hati masyarakat. 

Karena itu, pemerintah perlu berhenti menjadikan tambang sebagai simbol kemajuan, dan mulai menata ulang visi pembangunan yang berkeadilan ekologis serta melibatkan perempuan dan komunitas lokal sebagai penjaga kehidupan. 

“Bagi masyarakat NTT, tanah bukan sekadar sumber daya ekonomi, melainkan rahim kehidupan tempat manusia dan alam tumbuh berdampingan.” (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved