Opini
Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur
Pemerintah menjanjikan tambang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menawarkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah.
Di Poco Leok, proyek panas bumi yang diklaim sebagai “energi hijau” justru menimbulkan keresahan karena berada di wilayah ulayat dan ekosistem pegunungan yang menjadi sumber air utama.
Sementara di Nausus, Timor Tengah Selatan, aktivitas penambangan marmer dua dekade silam meninggalkan jejak luka yang belum sembuh: bukit-bukit batu dipotong, aliran air terganggu, dan kawasan hutan kecil yang dulu menjadi nadi kehidupan berubah menjadi lahan gersang.
Pola kemunculan dan warisan tambang ini memperlihatkan bagaimana logika ekonomi ekstraktif terus menembus ruang hidup masyarakat adat tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan, keberlanjutan sumber air, serta nilai-nilai kultural yang melekat pada tanah.
Pola serupa juga terlihat di Kalimantan Timur, terutama di wilayah Sanga-Sanga yang telah lama menjadi pusat tambang batu bara.
Sejak masa kolonial hingga kini, daerah ini terus dieksploitasi dengan dalih pembangunan nasional dan penyediaan energi bagi industri.
Namun di balik kontribusi besarnya terhadap pendapatan negara, yang tersisa bagi masyarakat lokal hanyalah kerusakan ekologis dan kemiskinan struktural.
Lubang-lubang tambang menganga di antara permukiman dan sawah, mencemari sungai, serta menjadi ancaman nyata bagi keselamatan warga.
Lanskap yang dahulu hijau kini berubah menjadi padang tandus penuh genangan air asam tambang.
Skalanya mungkin berbeda, tetapi polanya sama: di Kalimantan, eksploitasi berlangsung di tengah sumber daya yang melimpah; di NTT, ia dijalankan di atas tanah yang kering dan rapuh.
Dua lanskap berbeda yang diikat oleh logika yang sama ekstraktivisme yang memuja pertumbuhan ekonomi sambil menanggalkan keseimbangan antara manusia dan alam.
Dalam keduanya, tubuh perempuan dan tubuh bumi mengalami luka yang serupa: keduanya dieksploitasi, dijadikan alat produksi, dan disisihkan dari ruang pengambilan keputusan.
Dari sinilah, perlawanan tumbuh pelan, tapi pasti dari tangan-tangan perempuan yang menenun kehidupan kembali di atas tanah yang luka.
Negara di Persimpangan: Antara Modal dan Kehidupan
Di tengah luka ekologis yang membentang dari pesisir hingga pegunungan, negara tampak gamang menentukan arah: berpihak pada kehidupan atau tunduk pada logika modal.
Wacana transisi energi dan pembangunan hijau yang gencar dikumandangkan kerap menjadi tameng moral untuk menutupi pola lama eksploitasi sumber daya alam.
Di lapangan, yang terjadi bukan transformasi menuju keadilan ekologis, melainkan reproduksi krisis dengan wajah baru.
| Opini: Ketika Kabupaten Manggarai Belum Benar-benar Siap Melawan Rabies |
|
|---|
| Opini: TNI, Disiplin, dan Bayangan Keadilan yang Menjauh |
|
|---|
| Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah |
|
|---|
| Opini: Ketika Narasi Jadi Peluru, Politik Hobbesian di Media Sosial |
|
|---|
| Opini: Urgensi Satuan Pendidikan Aman Bencana di Nusa Tenggara Timur |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Try-Suriani-Loit-Tualaka3.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.