Opini

Opini: Menenun Harapan dari Tanah Luka, Perempuan dan Logika Tambang di Timur

Pemerintah menjanjikan tambang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menawarkan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan daerah. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI TRY SURIANI L TUALAKA
Try Suriani Loit Tualaka 

Di NTT, tambang mangan meninggalkan lahan-lahan mati dan petani tanpa penghidupan. 

Di Kalimantan Timur, lubang-lubang tambang batu bara yang dibiarkan menganga menjadi kuburan bagi anak-anak dan masa depan yang hilang. 

Negara hadir bukan sebagai penjaga kehidupan; pemberi izin yang tuli terhadap suara rakyat, berbicara tentang kesejahteraan sambil menutup mata pada penderitaan ekologis yang diciptakannya sendiri. 

Keadilan ekologis berhenti di tataran wacana, sementara ketimpangan sosial dan kerusakan alam terus dilegalkan atas nama pembangunan.

Kenyataan ini menyingkap paradoks paling mendasar dalam politik pembangunan Indonesia: negara yang seharusnya menjadi pelindung ruang hidup justru bersekutu dengan kekuatan ekonomi yang merusaknya. 

Di balik jargon “investasi” dan “pertumbuhan,” terselubung relasi kuasa yang timpang antara korporasi, birokrasi, dan warga. 

Pemerintah daerah yang menggantungkan harapan pada pendapatan tambang sering menukar keberlanjutan dengan janji palsu kemajuan, sementara pemerintah pusat meminjam narasi nasionalisme ekonomi untuk melanggengkan proyek ekstraktif berskala besar. 

Ketika sumber daya terkuras dan modal angkat kaki, yang tersisa hanyalah lanskap luka: tanah yang rusak, air yang tercemar, dan masyarakat kehilangan pegangan hidup. 

Dalam konteks ini, ketidakadilan ekologis bukan sekadar kegagalan kebijakan lingkungan, melainkan bentuk pengkhianatan negara terhadap mandat konstitusionalnya untuk melindungi kehidupan manusia dan alam dari keserakahan yang disamarkan sebagai pembangunan.

Namun, di tengah absennya negara sebagai pelindung kehidupan, justru dari ruang-ruang lokal tumbuh kekuatan baru yang menantang logika dominan itu: perempuan. 

Di tengah tekanan proyek-proyek ekstraktif yang menggerus ruang hidup, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak sekaligus yang pertama bangkit untuk melawan. 

Ketika tanah dirampas dan air tercemar, beban kehidupan sehari-hari dari menyediakan pangan, air, hingga menjaga kesehatan keluarga jatuh di pundak mereka. 

Tetapi dari luka dan keterpinggiran itu lahir kekuatan politik baru yang berakar pada pengalaman tubuh dan ingatan ekologis perempuan.

Perempuan-perempuan adat di NTT dan Kalimantan Timur menolak dipinggirkan oleh logika pembangunan maskulin yang mengukur kemajuan dari seberapa banyak tanah digali, bukan dari seberapa banyak kehidupan yang dipelihara. 

Mereka menjadikan praktik menenun, berkebun, merawat air, dan menjaga hutan sebagai bentuk perlawanan yang tak hanya simbolik, tetapi juga politis, menegaskan hak atas ruang hidup dan kedaulatan ekologis. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved