Opini

Opini: Urgensi Satuan Pendidikan Aman Bencana di Nusa Tenggara Timur

Di tengah realitas geografis yang tak terhindarkan ini, sekolah berdiri sebagai entitas paling krusial sekaligus paling rentan dalam urusan bencana. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI DODY KUDJI LEDE
Dody Kudji Lede 

Oleh: Dody Kudji Lede
Pemerhati sosial

POS-KUPANG.COM - Badan Penanggulangan Bencana Provinsi NTT pada bulan september 2024 merilis data bahwa sepanjang tahun 2020-2023, NTT telah mengalami 1.148 kejadian bencana. 

Selaras dengan ini, dokumen Kajian Risiko Bencana Provinsi NTT tahun 2021 – 2026 menyebutkan bahwa dari 14 bencana yang sering terjadi di NTT, 12 di antaranya masuk dalam klasifikasi tinggi. 

Sementara di tahun 2024 pada laman web BPBD Provinsi NTT terdapat 131 kejadian bencana pada tahun 2024, 24 orang meninggal di antara 47.844 masyarakat yang menderita secara langsung akibat bencana ini. 

Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) juga konsisten menempatkan NTT dalam kategori risiko tinggi terhadap ancaman hidrometeorologi, seperti kekeringan ekstrem, banjir bandang, dan siklon tropis, sebagaimana memoar pahit Siklon Seroja pada April 2021 yang meluluhlantakkan infrastruktur vital.

Baca juga: Studi Ungkap 80 Persen Dana Bencana Habis di Fase Awal Respon

Dari tingginya data bencana yang disuguhkan BPBD NTT, secara langsung menempatkan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu kontributor utama data nasional, yang pada akhirnya melahirkan pernyataan BMKG bahwa Indonesia adalah laboratorium bencana. 

Di tengah realitas geografis yang tak terhindarkan ini, sekolah berdiri sebagai entitas paling krusial sekaligus paling rentan dalam urusan bencana. 

Tempat yang seharusnya menjadi pusat transfer ilmu pengetahuan malah menjadi pusat inkubasi ketakutan dan risiko trauma ketika terjadi bencana, bahkan pada beberapa kejadian, sekolah adalah salah satu alternatif lokasi pengungsian dan episentrum sosial.

Ironisnya, ribuan ruang kelas di NTT masih berada dalam kondisi rapuh, sebuah realitas yang terus menjadi pergumulan kita dalam dekade-dekade terakhir ini. 

Ketika NTT sedang bergumul dengan ancaman bencana alam, anak-anak kita belajar untuk terbiasa dengan kemungkinan akan terjadinya bencana infrastruktur. 

Ketika masyarakat dimotori untuk sering melakukan simulasi bencana alam, anak-anak kita setiap hari diingatkan kemungkinan robohnya plafon. 

Kenyataan inilah yang akhirnya oleh pemerintah melahirkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang bertujuan meningkatkan keselamatan anak-anak dan institusi pendidikan dalam menghadapi bencana dan insiden darurat lainnya. 

SPAB bukanlah sekadar pilihan kebijakan, melainkan sebuah imperatif kemanusiaan untuk melindungi aset paling berharga kita. 

Urgensi SPAB terletak pada pergeseran paradigma fundamental: dari reaktif (menyalurkan bantuan pasca-bencana) menjadi preventif-antisipatif (membangun ketangguhan sebelum bencana). 

Lewat program ini, diharapkan sekolah menjadi lebih tangguh sehingga dapat melahirkan anak-anak dan warga sekolah yang memiliki kesadaran mitigasi, yang efeknya diharapkan dapat menular ke keluarga dan komunitas, untuk mewujudkan masyarakat yang siap siaga terhadap bencana secara kolektif. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved