Opini

Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah

Kepala daerah dan DPRD harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dalam meramu anggaran yang realistis, efisien, namun tetap pro-rakyat.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WILHELMUS M ADAM
Wilhelmus Mustari Adam 

Di balik tekanan jangka pendek yang dihadapi Pemda, pemangkasan TKD sebenarnya membuka diskusi mendasar tentang desain hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. 

Selama ini, model transfer yang ada cenderung menciptakan ketergantungan daerah terhadap pusat, tanpa mendorong daerah untuk mengoptimalkan potensi lokalnya. 

Belum lagi pengelolaan anggaran daerah tidak tepat sasaran, adanya kebocoran-kebocoran, yang menyebabkan praktek korupsi pada anggaran berpindah dari pusat ke daerah. 

Data historis APBD NTT dari tahun 2020 hingga 2025 menunjukkan bahwa rasio PAD terhadap total pendapatan daerah relatif stagnan. 

Ini menandakan bahwa desentralisasi fiskal belum berjalan sebagaimana mestinya. 

Daerah memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi tidak memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk membiayai kewenangan tersebut.

Ketergantungan tinggi terhadap TKD juga menciptakan moral hazard: daerah kurang termotivasi untuk menggali potensi PAD karena tahu akan selalu ada transfer dari pusat. 

Ketika transfer dipangkas, daerah panik karena tidak memiliki built-in capacity untuk mengkompensasi penurunan pendapatan.

Pemangkasan TKD, meskipun terasa berat, seharusnya menjadi wake-up call bagi daerah untuk membangun kemandirian fiskal. Namun, ini juga memerlukan komitmen pemerintah pusat untuk:

  • Memberikan ruang fiskal yang lebih luas kepada daerah, misalnya melalui pembagian basis pajak yang lebih adil atau peningkatan porsi Dana Bagi Hasil.
  • Menyediakan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD, inovasi daerah, dan prestasi daerah, bukan justru menghukum mereka dengan pemotongan transfer.
  • Membangun kapasitas daerah dalam perencanaan, pengelolaan keuangan, dan pemungutan pajak melalui program capacity building yang sistematis.
  • Mendesain mekanisme transfer yang lebih predictable dan tidak fluktuatif, sehingga daerah bisa merencanakan dengan lebih baik.

Penutup: Pembahasan APBD 2026 sebagai Titik Balik

Pembahasan APBD 2026 di 23 Pemda di NTT bukan sekadar rutinitas tahunan penyusunan anggaran. 

Ini adalah momen kritis yang akan menentukan kemampuan daerah untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan sumber daya.

Kepala daerah dan DPRD harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dalam meramu anggaran yang realistis, efisien, namun tetap pro-rakyat. 

Setiap rupiah yang dialokasikan harus benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga perlu mendengarkan suara daerah. 

Efisiensi memang penting untuk menjaga keberlanjutan fiskal nasional, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara yang justru melumpuhkan kapasitas daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Pada akhirnya, pembahasan APBD 2026 harus menghasilkan kesepakatan anggaran yang tidak hanya seimbang secara matematis, tetapi juga adil secara substansial dan berpihak pada kepentingan rakyat NTT. 

Hanya dengan cara itulah, tantangan pemotongan TKD bisa diubah menjadi peluang untuk membangun sistem keuangan daerah yang lebih mandiri dan berkelanjutan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved