Opini

Opini: Pembahasan APBD 2026 di Tengah Pemotongan Transfer Ke Daerah

Kepala daerah dan DPRD harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dalam meramu anggaran yang realistis, efisien, namun tetap pro-rakyat.

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI WILHELMUS M ADAM
Wilhelmus Mustari Adam 

Oleh: Wilhelmus Mustari Adam
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unwira Kupang. dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik Universitas Brawijaya, Malang.

POS-KUPANG.COM - Waktu terus berdetak menuju 31 Desember 2025, batas akhir penetapan Peraturan Daerah tentang APBD. 

Dalam rentang waktu Oktober hingga Desember ini, 23 pemerintah daerah di Nusa Tenggara Timur tengah menjalani proses krusial: pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026. 

Namun, tahun ini pembahasan berlangsung dengan nuansa yang jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Kepala daerah dan DPRD harus meramu anggaran dengan satu realitas pahit di hadapan mereka: Pemotongan Transfer Ke Daerah (TKD) yang signifikan dari pemerintah pusat.

Baca juga: Opini: APBD Perubahan, Instrumen Korektif dalam Tata Kelola Keuangan Daerah

Tenggat waktu 31 Desember bukan sekadar formalitas administratif. Ini adalah deadline yang menentukan apakah Pemda dapat menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan tepat mulai 1 Januari 2026, atau justru tertatih-tatih karena keterlambatan penetapan anggaran. 

Yang membuat situasi lebih menantang: mereka harus menyusun anggaran yang realistis dengan pendapatan yang dipastikan dicapai lebih kecil dari tahun sebelumnya. 

Momentum Efisiensi yang Berkelanjutan

Tahun anggaran 2025 telah menjadi tahun yang penuh tantangan bagi keuangan Negara dan daerah. 

Pemerintah pusat melakukan kebijakan efisiensi dalam tiga putaran dengan total nilai mencapai Rp750 triliun, termasuk pemotongan TKD sebesar Rp50,59 triliun dari total TKD Rp919,87 triliun. 

Kebijakan ini tidak hanya menyasar daerah, tetapi juga Kementerian/Lembaga (K/L) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Memasuki tahun 2026, tren efisiensi ini berlanjut dengan lebih tajam. APBN 2026 menganggarkan TKD sebesar Rp692,6 triliun, menunjukkan penurunan yang cukup signifikan sebesar Rp227,27 triliun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 

Bagi daerah, terutama daerah dengan kemampuan keuangan rendah, ini bukan sekadar angka statistik, melainkan realitas yang akan berdampak langsung pada kemampuan Pemda dalam menjalankan program pembangunan daerah dan pelayanan publik.

NTT: Menghadapi Defisit dengan Keterbatasan Struktural

Data APBD 23 Pemda di NTT per September 2025 (djpk.kemenkeu.go.id) memberikan gambaran yang mencemaskan sekaligus menantang. 

Dari total anggaran pendapatan daerah yang ditargetkan sebesar Rp30,18 triliun, ketergantungan terhadap TKD mencapai Rp25,28 triliun atau 83,8 persen. 

Sementara itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi Rp4,08 triliun atau 13,5 persen dari total pendapatan.

Tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap TKD ini menjadi kerentanan utama ketika pemerintah pusat memutuskan melakukan pemotongan. 

Di NTT, pada tahun 2025 terjadi pemotongan TKD sekitar Rp185 miliar dari total TKD Rp25 triliun lebih. 

Untuk tahun 2026, dengan rencana pengurangan rata-rata 20-30 persen untuk tingkat provinsi, diperkirakan Pemda di NTT akan menghadapi penurunan TKD yang lebih besar lagi.

Lebih memprihatinkan, realisasi PAD hingga September 2025 baru mencapai 46,4 persen dari target. 

Komponen pajak daerah yang seharusnya menjadi tulang punggung PAD hanya terealisasi 35 persen (Rp938,38 miliar dari target Rp2,68 triliun). 

Ini menunjukkan bahwa Pemda di NTT memiliki keterbatasan struktural dalam mengoptimalkan sumber pendapatan sendiri.

Tekanan pada Belanja Modal dan Program Prioritas

Pemotongan TKD akan memberikan tekanan besar pada struktur belanja daerah. Data menunjukkan bahwa belanja pegawai di NTT mencapai Rp14,16 triliun atau 46,5 persen dari total belanja daerah. 

Sifat belanja pegawai yang rigid dan wajib dipenuhi membuat ruang gerak Pemda semakin sempit ketika pendapatan berkurang.

Yang paling mengkhawatirkan adalah nasib belanja modal. Hingga September 2025, realisasi belanja modal baru mencapai 19,9 persen (Rp632,94 miliar dari pagu Rp3,17 triliun). 

Pola historis menunjukkan bahwa belanja modal selalu menjadi korban pertama ketika terjadi pemotongan anggaran. 

Padahal, belanja modal adalah instrumen utama untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas pelayanan publik. Belanja modal menggambarkan investasi yang dilakukan Pemda setiap tahun.

Dalam konteks pembahasan APBD 2026, Pemda akan dihadapkan pada dilema: mempertahankan belanja modal untuk pembangunan atau memprioritaskan belanja operasional yang sifatnya wajib. 

Dengan pemotongan TKD yang signifikan, sangat mungkin belanja modal akan kembali menjadi variabel penyesuaian. Dengan kondisi demikian, maka upaya perbaikan infrastruktur akan semakin sulit di waktu mendatang. 

Oleh karena itu prioritas dalam penyusunan anggaran menjadi krusial di tengah keterbatasan sumber daya.

Resistensi Daerah: Suara dari 18 Gubernur

Tidak mengherankan jika kebijakan pemangkasan TKD mendapat reaksi keras dari daerah. Pada 7 Oktober 2025, sebanyak 18 gubernur dari berbagai provinsi mendatangi Kantor Kementerian Keuangan RI untuk menyampaikan keprihatinan mereka. 

Aksi ini menunjukkan bahwa daerah merasa terpojok dengan kebijakan yang dinilai tidak mempertimbangkan kondisi riil di lapangan.

Dari perspektif daerah, pemotongan TKD tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas fiskal daerah akan menghambat pelaksanaan urusan pemerintahan yang sudah terdesentralisasi. 

Daerah diberi tanggung jawab besar dalam penyelenggaraan pelayanan publik, namun sumber pendanaan justru dipangkas.

Bagi NTT dengan karakteristik geografis kepulauan dan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi, pemotongan TKD akan berdampak ganda. 

Tidak hanya pembangunan infrastruktur yang terhambat, tetapi juga program-program pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terancam.

Mencari Terobosan: Intensifikasi PAD dan Reformasi Belanja

Dalam situasi yang mendesak ini, Pemda di NTT tidak punya pilihan lain selain melakukan reformasi fundamental dalam pengelolaan keuangan daerah. 

Pembahasan APBD 2026 harus menjadi momentum untuk melakukan terobosan-terobosan strategis.

Pertama, intensifikasi dan ekstensifikasi PAD harus menjadi prioritas utama. 

Data menunjukkan bahwa retribusi daerah baru terealisasi 46 persen hingga September 2025, menandakan masih ada potensi yang belum tergarap optimal. 

Pemda perlu melakukan pemetaan ulang potensi pajak dan retribusi daerah, memperbaiki sistem administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Kedua, efisiensi belanja harus dilakukan secara terukur dan tidak mengorbankan fungsi pelayanan publik. 

Belanja pegawai yang mencapai hampir setengah dari total belanja perlu dievaluasi. 

Apakah komposisi pegawai sudah ideal? Apakah ada pos-pos tunjangan yang bisa diefisienkan tanpa merugikan kesejahteraan ASN?

Ketiga, belanja barang dan jasa yang hingga September 2025 terealisasi 38,9 persen perlu dikaji ulang efektivitasnya. 

Pemda harus berani memangkas kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial atau tidak memberikan dampak langsung kepada masyarakat.

Keempat, inovasi sumber pembiayaan pembangunan perlu terus dikembangkan. Kerja sama dengan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) bisa menjadi alternatif untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. 

Menata Ulang Hubungan Fiskal Pusat-Daerah

Di balik tekanan jangka pendek yang dihadapi Pemda, pemangkasan TKD sebenarnya membuka diskusi mendasar tentang desain hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah. 

Selama ini, model transfer yang ada cenderung menciptakan ketergantungan daerah terhadap pusat, tanpa mendorong daerah untuk mengoptimalkan potensi lokalnya. 

Belum lagi pengelolaan anggaran daerah tidak tepat sasaran, adanya kebocoran-kebocoran, yang menyebabkan praktek korupsi pada anggaran berpindah dari pusat ke daerah. 

Data historis APBD NTT dari tahun 2020 hingga 2025 menunjukkan bahwa rasio PAD terhadap total pendapatan daerah relatif stagnan. 

Ini menandakan bahwa desentralisasi fiskal belum berjalan sebagaimana mestinya. 

Daerah memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, tetapi tidak memiliki kapasitas fiskal yang memadai untuk membiayai kewenangan tersebut.

Ketergantungan tinggi terhadap TKD juga menciptakan moral hazard: daerah kurang termotivasi untuk menggali potensi PAD karena tahu akan selalu ada transfer dari pusat. 

Ketika transfer dipangkas, daerah panik karena tidak memiliki built-in capacity untuk mengkompensasi penurunan pendapatan.

Pemangkasan TKD, meskipun terasa berat, seharusnya menjadi wake-up call bagi daerah untuk membangun kemandirian fiskal. Namun, ini juga memerlukan komitmen pemerintah pusat untuk:

  • Memberikan ruang fiskal yang lebih luas kepada daerah, misalnya melalui pembagian basis pajak yang lebih adil atau peningkatan porsi Dana Bagi Hasil.
  • Menyediakan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan PAD, inovasi daerah, dan prestasi daerah, bukan justru menghukum mereka dengan pemotongan transfer.
  • Membangun kapasitas daerah dalam perencanaan, pengelolaan keuangan, dan pemungutan pajak melalui program capacity building yang sistematis.
  • Mendesain mekanisme transfer yang lebih predictable dan tidak fluktuatif, sehingga daerah bisa merencanakan dengan lebih baik.

Penutup: Pembahasan APBD 2026 sebagai Titik Balik

Pembahasan APBD 2026 di 23 Pemda di NTT bukan sekadar rutinitas tahunan penyusunan anggaran. 

Ini adalah momen kritis yang akan menentukan kemampuan daerah untuk bertahan dan berkembang di tengah keterbatasan sumber daya.

Kepala daerah dan DPRD harus menunjukkan kepemimpinan yang visioner dalam meramu anggaran yang realistis, efisien, namun tetap pro-rakyat. 

Setiap rupiah yang dialokasikan harus benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah pusat juga perlu mendengarkan suara daerah. 

Efisiensi memang penting untuk menjaga keberlanjutan fiskal nasional, tetapi tidak boleh dilakukan dengan cara yang justru melumpuhkan kapasitas daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.

Pada akhirnya, pembahasan APBD 2026 harus menghasilkan kesepakatan anggaran yang tidak hanya seimbang secara matematis, tetapi juga adil secara substansial dan berpihak pada kepentingan rakyat NTT. 

Hanya dengan cara itulah, tantangan pemotongan TKD bisa diubah menjadi peluang untuk membangun sistem keuangan daerah yang lebih mandiri dan berkelanjutan. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved